Jurnal Nasional, Mei 2009
Penulis: Robert Irwin
Terbit : Maret 2009
Penerbit: Ramala Books
ISBN: 602-8224-17-8
Halaman: 380
Bagi sebagian kecil orang Indonesia, mengunjungi Eropa, bahkan berkeliling dunia, adalah perkara kecil. Sementara sisanya, bisa dibilang “buta” soal kenyataan yang terdapat di negeri-negeri yang jauh dari Indonesia, kecuali hanya terkait isu yang diberitakan media.
Muhammad Najib dalam novelnya, Safari, seolah memahami keingintahuan pembaca mengenai apa dan bagaimana negeri serta manusia di seberang benua ini. Dengan gaya bercerita yang sederhana, mudah ditangkap, dan runut, Muhammad Najib membantu pembaca untuk memahami negeri asing dari sudut pandang seorang Indonesia yang berwawasan dan menghormati perbedaan.
Jamal Bin Mujahid adalah pemuda yang berbakat. Berkat prestasi akademis dan riwayat baiknya dalam hal organisasi, ia mendapat beasiswa untuk mengambil program master di Reinisch-Westfa-lischen Technischen Hochs-chull Aachen (RWTH), yaitu kampus tempat Habibie dulu menimba ilmu.
Mengawali hari-hari awal-nya di negeri yang belum pernah dikenalnya, pemuda usia 20-an ini berupaya “berkenalan” dulu dengan tempat tinggalnya. Amal memulai proses pendekatan dengan berkeliling Aachen, terutama berburu tempat makan yang pasti halal, seperti restoran Turki milik Mustafa di dekat kampus.
Semestinya Amal bisa saja bertenang-tenang mengukir prestasi di tempatnya berkuliah. Hanya saja energi kemudaan dan juga keinginan menambah wawasan selalu membawanya pada perkenalan dengan orang-orang baru yang berujung pada ikatan perorganisasian atau persahabatan.Pada hari pertamanya kuliah, Amal bahkan langsung menjalin persahabatan dengan mahasiswa Palestina, Azam Albalawi. Begitu juga kedekatannya dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin, membawanya pada keterlibatan dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang lebih dalam dan serius. Bahkan, dalam proses pencalonan masa bakti yang baru, Amal terpilih mengetuai PPI Jerman sehingga mesti sering bolak-balik ke Berlin untuk menunaikan tugasnya.
Baik persahabatannya dengan Azam maupun aktivitasnya sebagai Ketua PPI menggiring Amal untuk berkeliling ke negara-negara lainnya. Dengan hanya mengeluarkan biaya tiket, perjalanan Amal di Palestina sudah diatur maksimal melalui perbatasan Yordania menuju Palestina. Amal dijemput seorang guide untuk berwisata, termasuk juga untuk mengunjungi Masjid Al-Aqsha.
Ketika sampai di situs yang ramai wisatawan dan peziarah tersebut, Amal dan Khalid (pemandunya) harus melewati pemeriksaan yang dilakukan tentara Israel dan petugas Palestina. Keduanya bisa langsung dibedakan melalui penampilannya. Tentara Israel berpakaian lengkap dengan senapan tergantung di dada. Petugas Palestina hanya mengenakan pakaian seadanya dengan tangan kosong saja. Menurut Khalid, ketimpangan macam ini sudah biasa. Malah orang-orang sipil Yahudi diizinkan memiliki senjata api dengan alasan melindungi diri di saat penduduk Arab tidak diperbolehkan. Alhasil, orang Arab kerap jadi korban muntahan peluru dalam sebuah keributan, meski awalnya perselisihan hanya adu mulut.
Di Masjid Al-Aqsha, Amal memanjatkan doa untuk Nabi Ibrahim, Ismail, Daud, Sulaiman, dan tentu Nabi Muhammad SAW. “Ya Allah, Engkau telah mengantarku ke tempat Rasulullah melakukan mi’raj untuk menerima perintah salat lima waktu yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi umat Islam,” gumamnya spontan dalam hati. Sepulangnya dari Palestina, Amal langsung terlibat diskusi hangat dengan Azam.
“Dalam retorika tokoh-tokoh mereka selalu menghormati HAM. Di negeri ini orang berpakaian minim tak dilarang, bahkan komunitas yang tak suka menutup aurat pun diberi tempat. Tapi mereka yang memakai jilbab?” kata Azam mengemukakan kekecewaannya sebagai orang Palestina atas sikap negara Barat, khususnya AS.
Begitulah setiap kunjungannya ke sebuah negeri selalu membekali Amal dengan pengetahuan baru. Tidak hanya soal sejarah dan tata kota, tapi juga sikap-sikap politis pemerintahan. Pengetahuan ini makin bertambah ketika ia bersilaturahmi dalam rangka membahas pembentukan PPI se-Eropa dengan mengunjungi London, Paris, Turki. Pertemuan-pertemuan pelajar di Istanbul kemudian juga berbuah undangan bagi Amal untuk bersilaturahmi ke Mesir yang semakin mendekatkannya dengan sejarah Mesir Kuno.
Bisa dibilang, lewat buku ini, penulis Muhammad Najib telah memberikan informasi dasar yang berharga mengenai situs-situs penting yang jadi kebanggaan tiap negara. Selain mendeskripsikan pemandangan dan situs serta artefak peninggalan sejarah yang indah, Muhammad Najib banyak bercerita soal sejarah Islam dan Barat di negara-negara tersebut dan pengaruhnya terhadap gaya arsitektural bangunan-bangunan mereka. Selain itu, sejarah para tokoh yang berbakti dan berkorban bagi keyakinan Islam juga banyak diungkapkan. Karenanya, buku ini bisa juga jadi semacam pengantar awal bagi mereka yang ingin bepergian ke negara-negara yang dikunjungi Amal.
Muhammad Najib sepertinya memang lebih fokus pada informasi terkait negeri asing daripada perjuangan si tokoh utama sendiri. Pada bab demi bab, kehidupan Amal di negeri orang sama sekali tak mengalami kesulitan berarti. Mungkin karena ia termasuk mahasiswa jenius yang pada akhir studinya mendapat predikat summa cumlaude. Amal bahkan bisa mudik gratis setelah 3 tahun tinggal di Jerman karena disertakan dosennya untuk datang ke seminar tentang perkembangan mutakhir Information and Computer Technology (ICT) di The Australian National University (ANU) yang kemudian dilanjutkan dengan wisata ke Bali tempat di mana keluarga Amal tinggal.
Meski begitu, karakter dan pola pikir Amal sebagai seorang mahasiswa yang berwawasan luas, maju dan bersahaja jelas tergambar dari berbagai keputusan dan tanggapan atas semua yang dihadapinya. Termasuk untuk memanfaatkan kesempatannya menuntut ilmu di negara asing dengan maksimal.
Minggu, Mei 24, 2009
Cinta Membuatku Bangkit Saat Lupus Berbunga Hikmah
Diposting oleh
Haqqi Pradipta
Sumber: Republika, 10 Mei 2009
Penulis: Agustini Suciningtias
Terbit : April 2009
Penerbit: Mizania
ISBN: 978-602-8236-40-9
Halaman: 168 /
Penyakit yang menyerang daya tahan tubuh itu bisa dialami siapa saja. Muda, tua, meski kebanyakan sasarannya adalah perempuan aktif dan produktif. Ketika terkena penyakit ini, sebagian besar langsung merasakan tubuhnya tanpa daya lantaran daya tahan tubuh melemah. Terlebih, lupus cepat pula menggerogoti organ tubuh lainnya.
Maka, buku ini pun hadir untuk memberi semangat. Buku Cinta Membuatku Bangkit merupakan kumpulan kisah nyata 13 odapus (orang dengan lupus, red) dengan profesi beragam seperti perawat, guru, dosen, apoteker, hingga penulis. Mereka bercerita tentang detik demi detik penyakit mengerikan itu datang dan bersarang seumur hidup di tubuhnya.
Seperti kisah Annisa Budiastuti yang menceritakan tentang gejala penyakit yang datang saat usianya masih dini, 13 tahun. Semula, diagnosis dokter untuk Annisa adalah penyakit asma berat. Hampir bersamaan, ibunda Annisa yang biasa disapanya dengan Ummi mengalami gejala serupa. Bahkan, diagnosis untuk sang ummi lebih banyak lagi di antaranya radang tenggorokan kronis, tipus, bronchitis sampai TBC.
Dari hasil tes darah secara lengkap, justru Ummi yang pertama kali divonis sakit lupus. Tak berapa lama, vonis serupa jatuh pula untuk Annisa. Rupanya, cobaan belum juga pergi. Giliran adik bungsu Annisa, Fitria (7 tahun), divonis lupus. Dalam usia semuda itu, Dede, panggilan akrab Fitria, bisa tenang dan tidak menangis ketika rasa sakit menderanya. “Aku dapat merasakan penderitaan yang dialaminya. Dalam tubuh mungilnya, tersimpan ketabahan dan kekuatan yang luar biasa,” ungkap Annisa.
Kini, mereka bertiga saling menguatkan. Ummi tidak pernah menangis di depan anak-anaknya, walaupun di antara mereka sedang sakit berat. Ummi selalu menenangkan dan meyakinkan agar anak-anaknya selalu optimis bahwa suatu saat Allah menunjukkan jalan kesembuhan. “Janganlah kita takut mati karena suatu penyakit, khususnya lupus. Kematian suatu kepastian. Yang penting adalah bekal apa yang sudah kita persiapkan sebelum mati, dan dalam keadaan bagaimana kita menghadap-Nya,” pesan dari Annisa.
Masih ada 12 kisah sejati dipaparkan di buku setebal 164 halaman ini seperti Takdir yang Terbaik dikisahkan oleh Aminah yang berprofesi sebagai perawat, serta perjuangan Yeni Maryani melawan lupus hingga sukses menggapai cita-cita dilantik sebagai apoteker. Semua kisah disajikan di buku ini mengundang haru biru.
Buku ini merupakan buku kedua yang diluncurkan Syamsi Dhuha Foundation. Sebelumnya, yayasan yang didirikan oleh Dian Syarief yang juga odapus adalah Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan. Buku yang mengandung hikmah mendalam ini bisa menjadi penyemangat bahwa kehidupan di luar sana terus berputar. Dengan mengidap lupus, dunia tidak akan langsung kiamat.
Kendati semula merasa hancur, kini mereka memilih untuk dapat bersahabat dengan lupus. Ketimbang harus terus luluh, mereka memutuskan untuk bangkit berjuang melawan penyakit yang bercokol dalam tubuhnya. Semangat yang juga dikobarkan oleh komunitas Syamsi Dhuha Foundation, tempat berkumpul para odapus. Mereka saling berbagi pengalaman hingga hilang rasa pesimistis. Bertepatan dengan Hari Lupus Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Mei ini, diharapkan buku ini bisa menjadi hadiah terindah.
Penulis: Agustini Suciningtias
Terbit : April 2009
Penerbit: Mizania
ISBN: 978-602-8236-40-9
Halaman: 168 /
Penyakit yang menyerang daya tahan tubuh itu bisa dialami siapa saja. Muda, tua, meski kebanyakan sasarannya adalah perempuan aktif dan produktif. Ketika terkena penyakit ini, sebagian besar langsung merasakan tubuhnya tanpa daya lantaran daya tahan tubuh melemah. Terlebih, lupus cepat pula menggerogoti organ tubuh lainnya.
Maka, buku ini pun hadir untuk memberi semangat. Buku Cinta Membuatku Bangkit merupakan kumpulan kisah nyata 13 odapus (orang dengan lupus, red) dengan profesi beragam seperti perawat, guru, dosen, apoteker, hingga penulis. Mereka bercerita tentang detik demi detik penyakit mengerikan itu datang dan bersarang seumur hidup di tubuhnya.
Seperti kisah Annisa Budiastuti yang menceritakan tentang gejala penyakit yang datang saat usianya masih dini, 13 tahun. Semula, diagnosis dokter untuk Annisa adalah penyakit asma berat. Hampir bersamaan, ibunda Annisa yang biasa disapanya dengan Ummi mengalami gejala serupa. Bahkan, diagnosis untuk sang ummi lebih banyak lagi di antaranya radang tenggorokan kronis, tipus, bronchitis sampai TBC.
Dari hasil tes darah secara lengkap, justru Ummi yang pertama kali divonis sakit lupus. Tak berapa lama, vonis serupa jatuh pula untuk Annisa. Rupanya, cobaan belum juga pergi. Giliran adik bungsu Annisa, Fitria (7 tahun), divonis lupus. Dalam usia semuda itu, Dede, panggilan akrab Fitria, bisa tenang dan tidak menangis ketika rasa sakit menderanya. “Aku dapat merasakan penderitaan yang dialaminya. Dalam tubuh mungilnya, tersimpan ketabahan dan kekuatan yang luar biasa,” ungkap Annisa.
Kini, mereka bertiga saling menguatkan. Ummi tidak pernah menangis di depan anak-anaknya, walaupun di antara mereka sedang sakit berat. Ummi selalu menenangkan dan meyakinkan agar anak-anaknya selalu optimis bahwa suatu saat Allah menunjukkan jalan kesembuhan. “Janganlah kita takut mati karena suatu penyakit, khususnya lupus. Kematian suatu kepastian. Yang penting adalah bekal apa yang sudah kita persiapkan sebelum mati, dan dalam keadaan bagaimana kita menghadap-Nya,” pesan dari Annisa.
Masih ada 12 kisah sejati dipaparkan di buku setebal 164 halaman ini seperti Takdir yang Terbaik dikisahkan oleh Aminah yang berprofesi sebagai perawat, serta perjuangan Yeni Maryani melawan lupus hingga sukses menggapai cita-cita dilantik sebagai apoteker. Semua kisah disajikan di buku ini mengundang haru biru.
Buku ini merupakan buku kedua yang diluncurkan Syamsi Dhuha Foundation. Sebelumnya, yayasan yang didirikan oleh Dian Syarief yang juga odapus adalah Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan. Buku yang mengandung hikmah mendalam ini bisa menjadi penyemangat bahwa kehidupan di luar sana terus berputar. Dengan mengidap lupus, dunia tidak akan langsung kiamat.
Kendati semula merasa hancur, kini mereka memilih untuk dapat bersahabat dengan lupus. Ketimbang harus terus luluh, mereka memutuskan untuk bangkit berjuang melawan penyakit yang bercokol dalam tubuhnya. Semangat yang juga dikobarkan oleh komunitas Syamsi Dhuha Foundation, tempat berkumpul para odapus. Mereka saling berbagi pengalaman hingga hilang rasa pesimistis. Bertepatan dengan Hari Lupus Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Mei ini, diharapkan buku ini bisa menjadi hadiah terindah.
Label:
novel
Tabung Oksigen Ketiga dari Pidi Baiq
Diposting oleh
Haqqi Pradipta
Sumber: Lampung Pos, 19 April 2009
Peresensi: Denny Ardiansyah
Judul buku: Drunken Mama (Kumpulan Kisah Tidak Teladan)
Penulis: Pidi Baiq
Terbit : Februari 2009
Penerbit: Dar Mizan
ISBN: 978-979-752-952-9
Halaman: 216 /
Untuk ketahuilah bersama alangkah hidup ini menakjubkan, sungguh menakjubkan. Sayang sekali kalau hidup bagimu hanya sekadar untuk menghirup oksigen. (Pidi Baiq, Drunken Mama; hlm. 116-117)
KONON, kehidupan ialah pusaran tanpa titik henti. Mati bukanlah akhir dari kehidupan manusia. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat doktrin yang termaktub dalam ajaran agama-agama di dunia yang semuanya yakin akan adanya kehidupan setelah kematian menyambangi manusia. Dus, tidaklah aneh jika manusia senantiasa mencari jawaban atas pelbagai fenomena yang melingkupinya setiap hari, seumur hidupnya.
Kiranya, hanya ada satu kegiatan yang membuat manusia tampak sebagai “benar-benar manusia”, yakni menafsir kehidupan. Kegiatan tersebut menunjukkan manusia sungguh-sungguh memiliki akal–entitas yang membedakan manusia dengan hewan.
Akal yang selalu digunakan untuk menafsir kehidupan niscaya akan membuat manusia tak terperosok lubang hitam banalitas kebudayaan. Namun, akal yang digunakan untuk menafsir kehidupan haruslah bersifat bebas, lentur, dan liar. Sebab, kehidupan sehari-hari manusia telah disesaki segala hal yang serbakaku. Artinya, manusia tak harus berkerut kening dan berpeluh badan ketika menafsir lembar demi lembar dalam “buku kehidupan”.
Kegiatan menafsir kehidupan ini sebenarnya pernah pula disebut sebagai sesuatu yang salah oleh Karl Marx. Filsuf asal Jerman itu berkata, “Para filsuf hanya menginterpretasikan dunia dalam pemikirannya, padahal bagaimanapun yang terpenting ialah mengubahnya!” Untunglah, Pidi Baiq bukan seorang filsuf–setidaknya ia tidak pernah mengaku sebagai filsuf, maka kita tetap laik membaca buku ketiga dari Seri Drunken yang ditulisnya
Pidi seolah tiada pernah merasa jengah menafsir fenomena yang melintas di hadapan matanya. Lebih jauh, ia pun tampaknya belum merasa cukup mengembangkan imajinasi dalam berperilaku yang oleh awam disebut sebagai ganjil dan aneh. Tetapi, Pidi hanya ingin menghibur hati manusia yang sering tertimpa lara nan berat. Pidi, tidak lebih, cuma ingin mengajak orang lain menafsir kehidupan dengan hati riang dan perasaan yang gembira. Tentu saja, tujuannya ialah kehidupan yang bahagia.
Membaca seluruh karya Pidi, sampai di Drunken Mama, saya memang harus tersentak dengan pertanyaan yang muncul otomatis dalam hati. Benarkah semua cerita Pidi selama ini sungguh-sungguh terjadi?
Kalau melihat struktur dan efek penceritaan dalam kisah yang telah ditulis Pidi sebagai catatan harian, pembaca akan merasakan kedahsyatan cerita-cerita tersebut. Kita memang akan dibawa untuk memercayai bahwa seluruh kisah Pidi adalah nyata adanya. Namun, lagi-lagi, kaidah umum memaksa pembaca untuk meyakinkan diri dengan bertanya pada hatinya; “Sungguhkah ada manusia seperti Pidi ini?”
Kalau cerita-cerita humor Pidi ialah suatu kebenaran, secara tidak sadar, ia telah meruntuhkan kekhawatiran Karl Marx terhadap orang-orang yang sering menafsir kehidupan. Pidi tak hanya menafsir kehidupan, tapi ia mengubahnya lewat perilaku yang humoris dan kritis. Sementara itu, jika Pidi hanya sekadar berimajinasi dalam bentuk tulisan–untuk tak menyebutnya berbohong–termasuk dalam 17 kisah di Drunken Mama ini, tak seharusnya kita mencaci Pidi. Sebab, bagaimana mungkin memarahi orang yang telah menghibur hati?
Anggap saja cerita-cerita Pidi bagaikan tabung oksigen yang biasa diberikan kepada orang yang pingsan. Membaca semua cerita Pidi memang ibarat menghirup oksigen yang membuat kita segar untuk kembali menapaki gemunung persoalan dalam hidup ini. Bahkan lebih dari itu, kisah-kisah humor yang ditulis Pidi seolah setia mengajak pembaca untuk tak sekadar menjalani kehidupan yang kaku dalam rutinitas. Maka, sekali lagi, sampai di Drunken Mama, Pidi Baiq seolah belum kehabisan energi kreatifnya. Hingga tetaplah laik kalau karya paling anyar dari Pidi ini dibaca.
* Denny Ardiansyah, peneliti kebudayaan di SoSADem (Society of Sociological Analitic for Democracy)
Peresensi: Denny Ardiansyah
Judul buku: Drunken Mama (Kumpulan Kisah Tidak Teladan)
Penulis: Pidi Baiq
Terbit : Februari 2009
Penerbit: Dar Mizan
ISBN: 978-979-752-952-9
Halaman: 216 /
Untuk ketahuilah bersama alangkah hidup ini menakjubkan, sungguh menakjubkan. Sayang sekali kalau hidup bagimu hanya sekadar untuk menghirup oksigen. (Pidi Baiq, Drunken Mama; hlm. 116-117)
KONON, kehidupan ialah pusaran tanpa titik henti. Mati bukanlah akhir dari kehidupan manusia. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat doktrin yang termaktub dalam ajaran agama-agama di dunia yang semuanya yakin akan adanya kehidupan setelah kematian menyambangi manusia. Dus, tidaklah aneh jika manusia senantiasa mencari jawaban atas pelbagai fenomena yang melingkupinya setiap hari, seumur hidupnya.
Kiranya, hanya ada satu kegiatan yang membuat manusia tampak sebagai “benar-benar manusia”, yakni menafsir kehidupan. Kegiatan tersebut menunjukkan manusia sungguh-sungguh memiliki akal–entitas yang membedakan manusia dengan hewan.
Akal yang selalu digunakan untuk menafsir kehidupan niscaya akan membuat manusia tak terperosok lubang hitam banalitas kebudayaan. Namun, akal yang digunakan untuk menafsir kehidupan haruslah bersifat bebas, lentur, dan liar. Sebab, kehidupan sehari-hari manusia telah disesaki segala hal yang serbakaku. Artinya, manusia tak harus berkerut kening dan berpeluh badan ketika menafsir lembar demi lembar dalam “buku kehidupan”.
Kegiatan menafsir kehidupan ini sebenarnya pernah pula disebut sebagai sesuatu yang salah oleh Karl Marx. Filsuf asal Jerman itu berkata, “Para filsuf hanya menginterpretasikan dunia dalam pemikirannya, padahal bagaimanapun yang terpenting ialah mengubahnya!” Untunglah, Pidi Baiq bukan seorang filsuf–setidaknya ia tidak pernah mengaku sebagai filsuf, maka kita tetap laik membaca buku ketiga dari Seri Drunken yang ditulisnya
Pidi seolah tiada pernah merasa jengah menafsir fenomena yang melintas di hadapan matanya. Lebih jauh, ia pun tampaknya belum merasa cukup mengembangkan imajinasi dalam berperilaku yang oleh awam disebut sebagai ganjil dan aneh. Tetapi, Pidi hanya ingin menghibur hati manusia yang sering tertimpa lara nan berat. Pidi, tidak lebih, cuma ingin mengajak orang lain menafsir kehidupan dengan hati riang dan perasaan yang gembira. Tentu saja, tujuannya ialah kehidupan yang bahagia.
Membaca seluruh karya Pidi, sampai di Drunken Mama, saya memang harus tersentak dengan pertanyaan yang muncul otomatis dalam hati. Benarkah semua cerita Pidi selama ini sungguh-sungguh terjadi?
Kalau melihat struktur dan efek penceritaan dalam kisah yang telah ditulis Pidi sebagai catatan harian, pembaca akan merasakan kedahsyatan cerita-cerita tersebut. Kita memang akan dibawa untuk memercayai bahwa seluruh kisah Pidi adalah nyata adanya. Namun, lagi-lagi, kaidah umum memaksa pembaca untuk meyakinkan diri dengan bertanya pada hatinya; “Sungguhkah ada manusia seperti Pidi ini?”
Kalau cerita-cerita humor Pidi ialah suatu kebenaran, secara tidak sadar, ia telah meruntuhkan kekhawatiran Karl Marx terhadap orang-orang yang sering menafsir kehidupan. Pidi tak hanya menafsir kehidupan, tapi ia mengubahnya lewat perilaku yang humoris dan kritis. Sementara itu, jika Pidi hanya sekadar berimajinasi dalam bentuk tulisan–untuk tak menyebutnya berbohong–termasuk dalam 17 kisah di Drunken Mama ini, tak seharusnya kita mencaci Pidi. Sebab, bagaimana mungkin memarahi orang yang telah menghibur hati?
Anggap saja cerita-cerita Pidi bagaikan tabung oksigen yang biasa diberikan kepada orang yang pingsan. Membaca semua cerita Pidi memang ibarat menghirup oksigen yang membuat kita segar untuk kembali menapaki gemunung persoalan dalam hidup ini. Bahkan lebih dari itu, kisah-kisah humor yang ditulis Pidi seolah setia mengajak pembaca untuk tak sekadar menjalani kehidupan yang kaku dalam rutinitas. Maka, sekali lagi, sampai di Drunken Mama, Pidi Baiq seolah belum kehabisan energi kreatifnya. Hingga tetaplah laik kalau karya paling anyar dari Pidi ini dibaca.
* Denny Ardiansyah, peneliti kebudayaan di SoSADem (Society of Sociological Analitic for Democracy)
Label:
novel
Mengintip Jendela Dunia
Diposting oleh
Haqqi Pradipta
Jurnal Nasional, Mei 2009
Penulis: Robert Irwin
Terbit : Maret 2009
Penerbit: Ramala Books
ISBN: 602-8224-17-8
Halaman: 380
Bagi sebagian kecil orang Indonesia, mengunjungi Eropa, bahkan berkeliling dunia, adalah perkara kecil. Sementara sisanya, bisa dibilang “buta” soal kenyataan yang terdapat di negeri-negeri yang jauh dari Indonesia, kecuali hanya terkait isu yang diberitakan media.
Muhammad Najib dalam novelnya, Safari, seolah memahami keingintahuan pembaca mengenai apa dan bagaimana negeri serta manusia di seberang benua ini. Dengan gaya bercerita yang sederhana, mudah ditangkap, dan runut, Muhammad Najib membantu pembaca untuk memahami negeri asing dari sudut pandang seorang Indonesia yang berwawasan dan menghormati perbedaan.
Jamal Bin Mujahid adalah pemuda yang berbakat. Berkat prestasi akademis dan riwayat baiknya dalam hal organisasi, ia mendapat beasiswa untuk mengambil program master di Reinisch-Westfa-lischen Technischen Hochs-chull Aachen (RWTH), yaitu kampus tempat Habibie dulu menimba ilmu.
Mengawali hari-hari awal-nya di negeri yang belum pernah dikenalnya, pemuda usia 20-an ini berupaya “berkenalan” dulu dengan tempat tinggalnya. Amal memulai proses pendekatan dengan berkeliling Aachen, terutama berburu tempat makan yang pasti halal, seperti restoran Turki milik Mustafa di dekat kampus.
Semestinya Amal bisa saja bertenang-tenang mengukir prestasi di tempatnya berkuliah. Hanya saja energi kemudaan dan juga keinginan menambah wawasan selalu membawanya pada perkenalan dengan orang-orang baru yang berujung pada ikatan perorganisasian atau persahabatan.Pada hari pertamanya kuliah, Amal bahkan langsung menjalin persahabatan dengan mahasiswa Palestina, Azam Albalawi. Begitu juga kedekatannya dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin, membawanya pada keterlibatan dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang lebih dalam dan serius. Bahkan, dalam proses pencalonan masa bakti yang baru, Amal terpilih mengetuai PPI Jerman sehingga mesti sering bolak-balik ke Berlin untuk menunaikan tugasnya.
Baik persahabatannya dengan Azam maupun aktivitasnya sebagai Ketua PPI menggiring Amal untuk berkeliling ke negara-negara lainnya. Dengan hanya mengeluarkan biaya tiket, perjalanan Amal di Palestina sudah diatur maksimal melalui perbatasan Yordania menuju Palestina. Amal dijemput seorang guide untuk berwisata, termasuk juga untuk mengunjungi Masjid Al-Aqsha.
Ketika sampai di situs yang ramai wisatawan dan peziarah tersebut, Amal dan Khalid (pemandunya) harus melewati pemeriksaan yang dilakukan tentara Israel dan petugas Palestina. Keduanya bisa langsung dibedakan melalui penampilannya. Tentara Israel berpakaian lengkap dengan senapan tergantung di dada. Petugas Palestina hanya mengenakan pakaian seadanya dengan tangan kosong saja. Menurut Khalid, ketimpangan macam ini sudah biasa. Malah orang-orang sipil Yahudi diizinkan memiliki senjata api dengan alasan melindungi diri di saat penduduk Arab tidak diperbolehkan. Alhasil, orang Arab kerap jadi korban muntahan peluru dalam sebuah keributan, meski awalnya perselisihan hanya adu mulut.
Di Masjid Al-Aqsha, Amal memanjatkan doa untuk Nabi Ibrahim, Ismail, Daud, Sulaiman, dan tentu Nabi Muhammad SAW. “Ya Allah, Engkau telah mengantarku ke tempat Rasulullah melakukan mi’raj untuk menerima perintah salat lima waktu yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi umat Islam,” gumamnya spontan dalam hati. Sepulangnya dari Palestina, Amal langsung terlibat diskusi hangat dengan Azam.
“Dalam retorika tokoh-tokoh mereka selalu menghormati HAM. Di negeri ini orang berpakaian minim tak dilarang, bahkan komunitas yang tak suka menutup aurat pun diberi tempat. Tapi mereka yang memakai jilbab?” kata Azam mengemukakan kekecewaannya sebagai orang Palestina atas sikap negara Barat, khususnya AS.
Begitulah setiap kunjungannya ke sebuah negeri selalu membekali Amal dengan pengetahuan baru. Tidak hanya soal sejarah dan tata kota, tapi juga sikap-sikap politis pemerintahan. Pengetahuan ini makin bertambah ketika ia bersilaturahmi dalam rangka membahas pembentukan PPI se-Eropa dengan mengunjungi London, Paris, Turki. Pertemuan-pertemuan pelajar di Istanbul kemudian juga berbuah undangan bagi Amal untuk bersilaturahmi ke Mesir yang semakin mendekatkannya dengan sejarah Mesir Kuno.
Bisa dibilang, lewat buku ini, penulis Muhammad Najib telah memberikan informasi dasar yang berharga mengenai situs-situs penting yang jadi kebanggaan tiap negara. Selain mendeskripsikan pemandangan dan situs serta artefak peninggalan sejarah yang indah, Muhammad Najib banyak bercerita soal sejarah Islam dan Barat di negara-negara tersebut dan pengaruhnya terhadap gaya arsitektural bangunan-bangunan mereka. Selain itu, sejarah para tokoh yang berbakti dan berkorban bagi keyakinan Islam juga banyak diungkapkan. Karenanya, buku ini bisa juga jadi semacam pengantar awal bagi mereka yang ingin bepergian ke negara-negara yang dikunjungi Amal.
Muhammad Najib sepertinya memang lebih fokus pada informasi terkait negeri asing daripada perjuangan si tokoh utama sendiri. Pada bab demi bab, kehidupan Amal di negeri orang sama sekali tak mengalami kesulitan berarti. Mungkin karena ia termasuk mahasiswa jenius yang pada akhir studinya mendapat predikat summa cumlaude. Amal bahkan bisa mudik gratis setelah 3 tahun tinggal di Jerman karena disertakan dosennya untuk datang ke seminar tentang perkembangan mutakhir Information and Computer Technology (ICT) di The Australian National University (ANU) yang kemudian dilanjutkan dengan wisata ke Bali tempat di mana keluarga Amal tinggal.
Meski begitu, karakter dan pola pikir Amal sebagai seorang mahasiswa yang berwawasan luas, maju dan bersahaja jelas tergambar dari berbagai keputusan dan tanggapan atas semua yang dihadapinya. Termasuk untuk memanfaatkan kesempatannya menuntut ilmu di negara asing dengan maksimal.
Penulis: Robert Irwin
Terbit : Maret 2009
Penerbit: Ramala Books
ISBN: 602-8224-17-8
Halaman: 380
Bagi sebagian kecil orang Indonesia, mengunjungi Eropa, bahkan berkeliling dunia, adalah perkara kecil. Sementara sisanya, bisa dibilang “buta” soal kenyataan yang terdapat di negeri-negeri yang jauh dari Indonesia, kecuali hanya terkait isu yang diberitakan media.
Muhammad Najib dalam novelnya, Safari, seolah memahami keingintahuan pembaca mengenai apa dan bagaimana negeri serta manusia di seberang benua ini. Dengan gaya bercerita yang sederhana, mudah ditangkap, dan runut, Muhammad Najib membantu pembaca untuk memahami negeri asing dari sudut pandang seorang Indonesia yang berwawasan dan menghormati perbedaan.
Jamal Bin Mujahid adalah pemuda yang berbakat. Berkat prestasi akademis dan riwayat baiknya dalam hal organisasi, ia mendapat beasiswa untuk mengambil program master di Reinisch-Westfa-lischen Technischen Hochs-chull Aachen (RWTH), yaitu kampus tempat Habibie dulu menimba ilmu.
Mengawali hari-hari awal-nya di negeri yang belum pernah dikenalnya, pemuda usia 20-an ini berupaya “berkenalan” dulu dengan tempat tinggalnya. Amal memulai proses pendekatan dengan berkeliling Aachen, terutama berburu tempat makan yang pasti halal, seperti restoran Turki milik Mustafa di dekat kampus.
Semestinya Amal bisa saja bertenang-tenang mengukir prestasi di tempatnya berkuliah. Hanya saja energi kemudaan dan juga keinginan menambah wawasan selalu membawanya pada perkenalan dengan orang-orang baru yang berujung pada ikatan perorganisasian atau persahabatan.Pada hari pertamanya kuliah, Amal bahkan langsung menjalin persahabatan dengan mahasiswa Palestina, Azam Albalawi. Begitu juga kedekatannya dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin, membawanya pada keterlibatan dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang lebih dalam dan serius. Bahkan, dalam proses pencalonan masa bakti yang baru, Amal terpilih mengetuai PPI Jerman sehingga mesti sering bolak-balik ke Berlin untuk menunaikan tugasnya.
Baik persahabatannya dengan Azam maupun aktivitasnya sebagai Ketua PPI menggiring Amal untuk berkeliling ke negara-negara lainnya. Dengan hanya mengeluarkan biaya tiket, perjalanan Amal di Palestina sudah diatur maksimal melalui perbatasan Yordania menuju Palestina. Amal dijemput seorang guide untuk berwisata, termasuk juga untuk mengunjungi Masjid Al-Aqsha.
Ketika sampai di situs yang ramai wisatawan dan peziarah tersebut, Amal dan Khalid (pemandunya) harus melewati pemeriksaan yang dilakukan tentara Israel dan petugas Palestina. Keduanya bisa langsung dibedakan melalui penampilannya. Tentara Israel berpakaian lengkap dengan senapan tergantung di dada. Petugas Palestina hanya mengenakan pakaian seadanya dengan tangan kosong saja. Menurut Khalid, ketimpangan macam ini sudah biasa. Malah orang-orang sipil Yahudi diizinkan memiliki senjata api dengan alasan melindungi diri di saat penduduk Arab tidak diperbolehkan. Alhasil, orang Arab kerap jadi korban muntahan peluru dalam sebuah keributan, meski awalnya perselisihan hanya adu mulut.
Di Masjid Al-Aqsha, Amal memanjatkan doa untuk Nabi Ibrahim, Ismail, Daud, Sulaiman, dan tentu Nabi Muhammad SAW. “Ya Allah, Engkau telah mengantarku ke tempat Rasulullah melakukan mi’raj untuk menerima perintah salat lima waktu yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi umat Islam,” gumamnya spontan dalam hati. Sepulangnya dari Palestina, Amal langsung terlibat diskusi hangat dengan Azam.
“Dalam retorika tokoh-tokoh mereka selalu menghormati HAM. Di negeri ini orang berpakaian minim tak dilarang, bahkan komunitas yang tak suka menutup aurat pun diberi tempat. Tapi mereka yang memakai jilbab?” kata Azam mengemukakan kekecewaannya sebagai orang Palestina atas sikap negara Barat, khususnya AS.
Begitulah setiap kunjungannya ke sebuah negeri selalu membekali Amal dengan pengetahuan baru. Tidak hanya soal sejarah dan tata kota, tapi juga sikap-sikap politis pemerintahan. Pengetahuan ini makin bertambah ketika ia bersilaturahmi dalam rangka membahas pembentukan PPI se-Eropa dengan mengunjungi London, Paris, Turki. Pertemuan-pertemuan pelajar di Istanbul kemudian juga berbuah undangan bagi Amal untuk bersilaturahmi ke Mesir yang semakin mendekatkannya dengan sejarah Mesir Kuno.
Bisa dibilang, lewat buku ini, penulis Muhammad Najib telah memberikan informasi dasar yang berharga mengenai situs-situs penting yang jadi kebanggaan tiap negara. Selain mendeskripsikan pemandangan dan situs serta artefak peninggalan sejarah yang indah, Muhammad Najib banyak bercerita soal sejarah Islam dan Barat di negara-negara tersebut dan pengaruhnya terhadap gaya arsitektural bangunan-bangunan mereka. Selain itu, sejarah para tokoh yang berbakti dan berkorban bagi keyakinan Islam juga banyak diungkapkan. Karenanya, buku ini bisa juga jadi semacam pengantar awal bagi mereka yang ingin bepergian ke negara-negara yang dikunjungi Amal.
Muhammad Najib sepertinya memang lebih fokus pada informasi terkait negeri asing daripada perjuangan si tokoh utama sendiri. Pada bab demi bab, kehidupan Amal di negeri orang sama sekali tak mengalami kesulitan berarti. Mungkin karena ia termasuk mahasiswa jenius yang pada akhir studinya mendapat predikat summa cumlaude. Amal bahkan bisa mudik gratis setelah 3 tahun tinggal di Jerman karena disertakan dosennya untuk datang ke seminar tentang perkembangan mutakhir Information and Computer Technology (ICT) di The Australian National University (ANU) yang kemudian dilanjutkan dengan wisata ke Bali tempat di mana keluarga Amal tinggal.
Meski begitu, karakter dan pola pikir Amal sebagai seorang mahasiswa yang berwawasan luas, maju dan bersahaja jelas tergambar dari berbagai keputusan dan tanggapan atas semua yang dihadapinya. Termasuk untuk memanfaatkan kesempatannya menuntut ilmu di negara asing dengan maksimal.
Label:
novel
Spirit Kesahajaan, Cinta Kasih dan Kemanusiaan di Flores
Diposting oleh
Haqqi Pradipta
Sumber: Harian SOLOPOS, 22 Maret 2009
Peresensi: Sofia Rahmawati
Penulis: Ade Nastiti
Terbit : Maret 2009
Penerbit: Lingkar Pena
ISBN: 979-1367-82-0
Halaman: 428
Membaca 23 bab awal dari 42 bab cerita dalam novel ini, pembaca diajak untuk belajar materi Propermas dalam kemasan naratif yang menarik. Latar belakang penulis yang pernah terjun langsung dalam dunia pemberdayaan masyarakat, mengenalkan sesuatu yang berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat tersebut kepada pembaca. Salah satunya adalah profesi fasilitator yang belum banyak dikenal orang. Tidak setenar dokter, guru, PNS dan sebagainya, tapi profesi ini juga merupakan salah satu bentuk sebuah pengabdian kepada masyarakat.
Dalam novel ini, diceritakan sosok Hening sebagai seorang fasilitator sebuah program pemberdayaan masyarakat. Riung, sebuah daerah di Flores yang terpencil namun rupawan, menjadi saksi bisu perjalanan hidup Hening dalam usahanya mencari sang ayah di antara pengabdian terhadap sebuah profesi dan mencari kebahagiaan yang diimpikannya.
Tantangan demi tantangan dihadapinya. Hari-hari Hening menjadi semakin berwarna. Bertemu orang-orang baru, kebudayaan baru, pressure dan dinamika kerja yang tinggi menjadi hiburan indah untuknya. Takdir hidup di Flores, membawanya bertemu dengan sosok-sosok yang berharga dalam hidupnya. Riung yang sepi, bukan berarti sepi di hati Hening. Apalagi setelah dia mengenal sosok Adrian, seorang duda agnostik beranak satu yang bisa menaklukkan kerasnya hati Hening.
Hening terjebak dalam kisah cinta yang meragukan bersama Adrian. Meskipun mereka saling mencintai, namun Adrian sudah mempunyai tunangan. Di satu sisi, Hening telah memiliki Fajar. Laki-laki yang telah sabar memahami dirinya selama 10 tahun. Jebakan cinta segitiga itu akhirnya terkuak. Ego dan idealisme Hening tentang cinta, membawanya kehilangan Adrian dan Fajar. Meskipun hati tercabik, Hening bisa melarutkan emosi dan menjalani profesinya di Riung dengan profesional.
Romansa cinta Hening dan pengabdiannya terhadap masyarakat Riung membawanya bertemu sang ayah yang dicarinya, meskipun hanya sekejap. Tabir kepergian ayahnya meninggalkan keluarga 24 tahun lalu juga telah terbuka. Beban yang selama ini menggayuti hati Hening telah sirna.
Kurang berliku
Enam tahun sudah berlalu, sosok Adrian telah menghilang lama dari hidupnya. Namun ternyata cinta di hati Hening kepada Adrian belum menghilang, namun Hening tidak mau berharap lebih. Hanya sebuah keyakinan bahwa cinta yang diharapkan itu benar-benar singgah kepadanya, meskipun bukan Adrian. Namun siapa sangka jika cinta itu akan kembali. Cinta memang misteri, dia akan datang pada waktunya.
Sebuah cerita yang luar biasa. Unsur indah dan bermanfaat untuk pembaca telah menjiwai isi dan teknik penulisannya. Gaya bahasanya lugas, meskipun pilihan kata untuk dialog banyak menggunakan bahasa lokal. Namun, tidak mengurangi keindahan cerita bahkan menjadi variasi yang manis. Pembaca tetap bisa memahami maknanya karena terbantu oleh catatan kaki yang ditampilkan.
Novel ini dibangun dari ide brilian dengan nuansa intelektual yang tinggi. Mungkin yang patut dikritisi hanyalah alur cerita yang kurang berliku dalam perjuangan menemukan sang ayah. Konflik yang menjadi tujuan awal cerita ini, terkesan datar dan tidak menjadi konflik utama bahkan hanya menjadi “figuran” cerita, karena sedikit sekali terulas. Namun kekurangan itu bisa ditutupi dengan deskripsi setting cerita yang bagus. Penjelasan mengenai program pemberdayaan masyarakat, sistem pembangunan bottom up dan teknis-teknisnya, terdeskripsikan dengan jelas. Hal ini menunjukkan jika sang penulis memahami betul materi yang menjadi latar belakang cerita.
Happy ending yang dipilih penulis untuk penyelesaian cerita, membuat unsur indah sebuah novel terpenuhi, yaitu menghibur. Sebab, sebagian besar pembaca menyukai sebuah akhir yang bahagia di banding sedih atau menggantung.
Melihat dari unsur manfaat, novel ini sangat edukatif. Penulis menyampaikan sebuah pendidikan tentang kesahajaan, cinta kasih, kemanusiaan, senasib sepenanggungan dan toleransi. Hal ini ditunjukkan ketika seorang Hening, gadis kota yang berjilbab, diterima baik oleh lingkungan Katolik taat dalam kondisi perekonomian yang kurang. Mereka bahkan sangat menghargai keberadaan Hening, dan tidak mempersoalkan perbedaan keyakinan yang dianut.
Setting tempat yaitu Flores, juga mengajarkan sebuah jendela baru bagi pembaca. Bahwa sebuah daerah yang jauh dari ibukota dan tidak seramai kota-kota di Jawa, tidak selalu menciptakan perasaan sepi dan asing bagi orang kota seperti Hening dan teman-temannya. Syaratnya adalah, manusia tersebut bisa membawa diri di manapun dia berada.
Perpaduan ide dan pengalaman penulis, membuat novel ini sangat layak dibaca. Kisah heroik para fasilitator dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di tengah isu-isu korupsi terhadap dana pembangunan, setidaknya bisa membuka wacana kita untuk percaya bahwa idealisme terhadap pembangunan itu masih ada. Bahkan lebih jauh, bisa menggugah hati kita untuk peduli terhadap kondisi saudara sebangsa dan se- Tanah air yang berada jauh di pelosok Indonesia. Meskipun terlihat sederhana, namun pesan ini menyimpan makna yang dalam jika kita renungkan dan lakukan.
Peresensi: Sofia Rahmawati
Penulis: Ade Nastiti
Terbit : Maret 2009
Penerbit: Lingkar Pena
ISBN: 979-1367-82-0
Halaman: 428
Membaca 23 bab awal dari 42 bab cerita dalam novel ini, pembaca diajak untuk belajar materi Propermas dalam kemasan naratif yang menarik. Latar belakang penulis yang pernah terjun langsung dalam dunia pemberdayaan masyarakat, mengenalkan sesuatu yang berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat tersebut kepada pembaca. Salah satunya adalah profesi fasilitator yang belum banyak dikenal orang. Tidak setenar dokter, guru, PNS dan sebagainya, tapi profesi ini juga merupakan salah satu bentuk sebuah pengabdian kepada masyarakat.
Dalam novel ini, diceritakan sosok Hening sebagai seorang fasilitator sebuah program pemberdayaan masyarakat. Riung, sebuah daerah di Flores yang terpencil namun rupawan, menjadi saksi bisu perjalanan hidup Hening dalam usahanya mencari sang ayah di antara pengabdian terhadap sebuah profesi dan mencari kebahagiaan yang diimpikannya.
Tantangan demi tantangan dihadapinya. Hari-hari Hening menjadi semakin berwarna. Bertemu orang-orang baru, kebudayaan baru, pressure dan dinamika kerja yang tinggi menjadi hiburan indah untuknya. Takdir hidup di Flores, membawanya bertemu dengan sosok-sosok yang berharga dalam hidupnya. Riung yang sepi, bukan berarti sepi di hati Hening. Apalagi setelah dia mengenal sosok Adrian, seorang duda agnostik beranak satu yang bisa menaklukkan kerasnya hati Hening.
Hening terjebak dalam kisah cinta yang meragukan bersama Adrian. Meskipun mereka saling mencintai, namun Adrian sudah mempunyai tunangan. Di satu sisi, Hening telah memiliki Fajar. Laki-laki yang telah sabar memahami dirinya selama 10 tahun. Jebakan cinta segitiga itu akhirnya terkuak. Ego dan idealisme Hening tentang cinta, membawanya kehilangan Adrian dan Fajar. Meskipun hati tercabik, Hening bisa melarutkan emosi dan menjalani profesinya di Riung dengan profesional.
Romansa cinta Hening dan pengabdiannya terhadap masyarakat Riung membawanya bertemu sang ayah yang dicarinya, meskipun hanya sekejap. Tabir kepergian ayahnya meninggalkan keluarga 24 tahun lalu juga telah terbuka. Beban yang selama ini menggayuti hati Hening telah sirna.
Kurang berliku
Enam tahun sudah berlalu, sosok Adrian telah menghilang lama dari hidupnya. Namun ternyata cinta di hati Hening kepada Adrian belum menghilang, namun Hening tidak mau berharap lebih. Hanya sebuah keyakinan bahwa cinta yang diharapkan itu benar-benar singgah kepadanya, meskipun bukan Adrian. Namun siapa sangka jika cinta itu akan kembali. Cinta memang misteri, dia akan datang pada waktunya.
Sebuah cerita yang luar biasa. Unsur indah dan bermanfaat untuk pembaca telah menjiwai isi dan teknik penulisannya. Gaya bahasanya lugas, meskipun pilihan kata untuk dialog banyak menggunakan bahasa lokal. Namun, tidak mengurangi keindahan cerita bahkan menjadi variasi yang manis. Pembaca tetap bisa memahami maknanya karena terbantu oleh catatan kaki yang ditampilkan.
Novel ini dibangun dari ide brilian dengan nuansa intelektual yang tinggi. Mungkin yang patut dikritisi hanyalah alur cerita yang kurang berliku dalam perjuangan menemukan sang ayah. Konflik yang menjadi tujuan awal cerita ini, terkesan datar dan tidak menjadi konflik utama bahkan hanya menjadi “figuran” cerita, karena sedikit sekali terulas. Namun kekurangan itu bisa ditutupi dengan deskripsi setting cerita yang bagus. Penjelasan mengenai program pemberdayaan masyarakat, sistem pembangunan bottom up dan teknis-teknisnya, terdeskripsikan dengan jelas. Hal ini menunjukkan jika sang penulis memahami betul materi yang menjadi latar belakang cerita.
Happy ending yang dipilih penulis untuk penyelesaian cerita, membuat unsur indah sebuah novel terpenuhi, yaitu menghibur. Sebab, sebagian besar pembaca menyukai sebuah akhir yang bahagia di banding sedih atau menggantung.
Melihat dari unsur manfaat, novel ini sangat edukatif. Penulis menyampaikan sebuah pendidikan tentang kesahajaan, cinta kasih, kemanusiaan, senasib sepenanggungan dan toleransi. Hal ini ditunjukkan ketika seorang Hening, gadis kota yang berjilbab, diterima baik oleh lingkungan Katolik taat dalam kondisi perekonomian yang kurang. Mereka bahkan sangat menghargai keberadaan Hening, dan tidak mempersoalkan perbedaan keyakinan yang dianut.
Setting tempat yaitu Flores, juga mengajarkan sebuah jendela baru bagi pembaca. Bahwa sebuah daerah yang jauh dari ibukota dan tidak seramai kota-kota di Jawa, tidak selalu menciptakan perasaan sepi dan asing bagi orang kota seperti Hening dan teman-temannya. Syaratnya adalah, manusia tersebut bisa membawa diri di manapun dia berada.
Perpaduan ide dan pengalaman penulis, membuat novel ini sangat layak dibaca. Kisah heroik para fasilitator dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di tengah isu-isu korupsi terhadap dana pembangunan, setidaknya bisa membuka wacana kita untuk percaya bahwa idealisme terhadap pembangunan itu masih ada. Bahkan lebih jauh, bisa menggugah hati kita untuk peduli terhadap kondisi saudara sebangsa dan se- Tanah air yang berada jauh di pelosok Indonesia. Meskipun terlihat sederhana, namun pesan ini menyimpan makna yang dalam jika kita renungkan dan lakukan.
Label:
novel
Timor Timur, Satu Menit Terakhir
Diposting oleh
Haqqi Pradipta
Judul: Timor Timur, Satu Menit Terakhir
Penulis: CM Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan: November 2008
Tebal: 483 halaman
Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.
Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.
Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.
Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.
Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).
Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.
Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional, yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.
Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.
Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.
Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.
Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.
Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari Indonesia.
Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.
Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi kepada Bunda Maria.
Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.
Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.
Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan.
Penulis: CM Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan: November 2008
Tebal: 483 halaman
Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.
Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.
Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.
Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.
Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).
Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.
Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional, yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.
Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.
Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.
Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.
Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.
Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari Indonesia.
Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.
Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi kepada Bunda Maria.
Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.
Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.
Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan.
Label:
umum
Langganan:
Postingan (Atom)