Selasa, Oktober 27, 2009

Suka Duka Fatmawati Sukarno



Judul: Suka Duka Fatmawati Sukarno
Penulis: Kadjat Adra’i
Penerbit: Yayasan Bung Karno
Tebal: 312 Halaman
Terbit: 2008

Jejak-Jejak Fatmawati Sukarno

PUNCAK dari keluhuran ilmu pengetahuan adalah terwujudnya sikap toleransi. Bukan ditandai dengan lahirnya sebuah pemikiran brilian atau mahakarya yang sempurna. Karena dalam sikap toleransi, bukan sekadar terkandung kesediaan menerima perbedaan dengan lapang, juga melahirkan ketulusan untuk mengulurkan maaf atas kesalahan yang timbul akibat perbedaan.

Menapak-tilasi perjalanan hidup Fatmawati Sukarno –mendiang First Lady pertama Republik Indonesia- begitu kental sikap toleransi yang dimiliki. Sejak remaja, Tema –demikian Fatmawati dipanggil kedua orangtuanya Hasan Din dan Siti Hadjah- telah menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Beliau tak merasa malu berjualan kacang rebus untuk membantu perekonomian orangtuanya yang hidup serba sederhana.

Bahkan ketika Bung Karno yang terpikat dengan kecantikan Teratai dari Bengkulu –julukan Fatmawati- hendak menyuntingnya, tak segera diterima karena mengetahui tokoh pergerakan nasional itu sudah beristri bernama Inggit Garnasih. Dia begitu menentang poligami meski mengetahui dalam Islam seorang lelaki diperbolehkan beristri lebih dari satu.

Kesetiaannya mendampingi Proklamator sekaligus Presiden Republik Indonesia pertama dan keluhuran budinya, mendapat ujian ketika Bung Karno menyatakan hendak menikah kembali. Meski hatinya menolak, Fatmawati yang baru saja melahirkan Guruh Sukarno Putra dengan berat hati mengizinkan Bung Karno menikahi Hartini.

Namun, beliau menunjukkan sikapnya yang konsisten menentang poligami dengan meninggalkan Istana dan kelima anak yang disayanginya. Cemburu dengan madunya, marah dengan sikap Bung Karno, sudah pasti, namun beliau tidak menyalahkan siapa-siapa. Karena dia tahu Hartini tak bisa disalahkan dan Bung Karno masih begitu dia cintai.

Itu sekelumit dari sikap luhur dan konsistensi sikap ibu Fatmawati yang direkam dalam buku Suka Duka Fatmawati Sukarno yang ditulis wartawan senior Kadjat Adra’i. Buku setebal 312 halaman yang diterbitkan Yayasan Bung Sukarno, secara detail menampilkan lebih dekat sosok Ibu Fatmawati.

Pelbagai hal tentang ibu Fat –panggilan untuk Ibu Fatmawati-, seperti kegemarannya memasak, kecintaannya terhadap budaya nusantara, cara membesarkan kelima putranya, meredakan pertikaian lawan politik suaminya dengan bersilaturahmi, dan ketulusannya memaafkan Bung Karno yang melukai hatinya. Buku ini pun menyajikan kehidupan keluarga Bung Karno yang harmonis dan humanis.

Buku ini seperti kepingan yang melengkapi kehidupan dan sosok Bung Karno dari sisi paling humanis. Bahkan kejenakaan beliau bersama anggota keluarga dan kehidupan di Istana, termasuk berbagai isu spiritual yang melekat pada dirinya disajikan dengan cara yang menyegarkan.

Buku ini dalam porsi yang pas, menampilkan kelebihan dan kekurangan Bung Karno sebagai seorang ayah, lelaki, dan pemimpin. Sikap toleransi Bung Karno pun tercermin dari penghargaan istri beliau yang luhur dan halus. Mau bersikap berbeda, namun bersedia memaafkan tanpa memudarkan sedikitpun rasa cintanya. Seperti dalam pesan yang tertulis ketika melepas jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso,” Tjintamu menjiwa rakyat, Tjinta Fat.” (wasis wibowo)

Kitchen

October 13th, 2009
Judul Buku : Kitchen
Penulis : Banana Yoshimoto
Penerbit : KPG
Terbit : April 2009
Tebal : 204 Halaman

Dapur Pelebur Luka

“TEMPAT yang paling kusukai di dunia ini adalah dapur. Aku suka sekali dapur yang kotor. Lebih bagus lagi kalau dapur itu luas. Tentu menyenangkan mati di dapur…”

Kalimat-kalimat pembuka dalam novel Kitchen tampak sederhana, namun begitu kuat membetot pembaca untuk menelusuri kisah seorang gadis bernama Mikage Sakura yang menemukan kedamaian dari sebuah ruang yang bernama dapur. Dapur sebenarnya bukan tempat yang istimewa, bahkan sering kali tak dipedulikan. Karena dapur hanya tempat untuk menyajikan makanan dan sering kali terlihat berantakan.

Namun, bagi Mikage, dapur menjadi tempat yang istimewa. Atmosfernya selalu menghadirkan kedamaian dan ketentraman. Kehadiran peralatan, seperti donburi (mangkuk), piring gratin, cangkir, seakan menghadirkan kegembiraan dalam dirinya. Bahkan dia bisa tertidur pulas di samping kulkas yang besar dan dingin, ketimbang di ranjang yang empuk atau sofa yang mewah.

Kecintaannya terhadap dapur seakan membunuh luka dan kepedihan hati setelah neneknya meninggal dunia. Sosok nenek begitu dekat, karena sejak kecil Mikage telah ditinggal kedua orangtuanya. Kepergian neneknya membuat dia kesepian di dalam apartemen yang luas di Tokyo .

Kecintaanya dengan dapur pun membuatnya masuk dalam kehidupan sebuah keluarga yang pelik dan diselimuti duka. Dia mengenal seorang pemuda tampan bernama Yuichi Tanabe dan ibunya Eriko Tanabe. Setelah mengenal lebih jauh, ternyata Eriko sebenarnya adalah ayah Yuichi bukan ibunya. Eriko mengubah penampilannya menjadi perempuan agar bisa membesarkan anaknya, setelah istrinya meninggal.

Melalui dapur, ketiganya menjalin interaksi yang hangat dan penuh aroma keceriaan. Sama hangatnya dengan berbagai sajian makanan khas Jepang, seperti Botamochi, Oden, Tori Kishimen, yang dihidangkan bersama Teh Houji. Kehangatan dan keceriaan ini membuat ketiganya mampu melupakan kesedihan dan luka yang membayangi dalam kehidupan mereka.

Kisah Mikage dan kecintaannya terhadap dapur, disajikan secara menarik dalam novel karya Banana Yoshimoto yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Gaya bertutur yang dituangkan Banana Yoshimoto yang memiliki nama asli Mahoko Yoshimoto begitu kuat. Dengan kalimat yang singkat dan pilihan kata yang ‘menonjok’ membuat novel setebal 204 halaman ini terasa mengalir.

Deskripsi yang disajikan pun nyata dan mampu menarik dalam kehidupan masyarakat Jepang yang modern sekaligus kompleks. Konflik yang dibangun pun ringan karena fokus pada pergulatan batin tokoh-tokoh dalam novel ini yang ditinggalkan orang-orang terdekat dan dicintai. Walaupun alurnya lambat, novel ini mampu menghanyutkan ke dalam nuansa melankolik.

Dalam novel ini, pembaca pun disajikan kisah tambahan yang berjudul Moonlight Shadow. Dalam kisah keduanya ini, Banana Yoshimoto menunjukkan kebolehannya mengolah konflik batin dalam nuansa romansa yang mistis. Tokoh sentral dalam Moonlight Shadow adalah Satsuki, seorang gadis yang kehilangan kekasihnya bernama Hitoshi karena meninggal dunia. Dia bersahabat dengan adik kekasihnya bernama Shu yang kehilangan pujaan hatinya Yumiko.

Kerinduan Satsuki pada Hitoshi coba diobati dengan bertemu Shu yang memiliki kesamaan. Namun, Shu yang mengenang kekasihnya yang meninggal kerap menggenakan pakaian seperti perempuan. Keinginan keduanya untuk bertemu dengan kekasih mereka yang telah pergi begitu kuat, sampai membawa ke dalam sebuah kejadian mistis. Akhir dan misteri apa yang terjadi dalam dua kisah di novel ini menarik untuk diikuti.

http://resensibukubaru.com/