Selasa, Oktober 27, 2009

Suka Duka Fatmawati Sukarno



Judul: Suka Duka Fatmawati Sukarno
Penulis: Kadjat Adra’i
Penerbit: Yayasan Bung Karno
Tebal: 312 Halaman
Terbit: 2008

Jejak-Jejak Fatmawati Sukarno

PUNCAK dari keluhuran ilmu pengetahuan adalah terwujudnya sikap toleransi. Bukan ditandai dengan lahirnya sebuah pemikiran brilian atau mahakarya yang sempurna. Karena dalam sikap toleransi, bukan sekadar terkandung kesediaan menerima perbedaan dengan lapang, juga melahirkan ketulusan untuk mengulurkan maaf atas kesalahan yang timbul akibat perbedaan.

Menapak-tilasi perjalanan hidup Fatmawati Sukarno –mendiang First Lady pertama Republik Indonesia- begitu kental sikap toleransi yang dimiliki. Sejak remaja, Tema –demikian Fatmawati dipanggil kedua orangtuanya Hasan Din dan Siti Hadjah- telah menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Beliau tak merasa malu berjualan kacang rebus untuk membantu perekonomian orangtuanya yang hidup serba sederhana.

Bahkan ketika Bung Karno yang terpikat dengan kecantikan Teratai dari Bengkulu –julukan Fatmawati- hendak menyuntingnya, tak segera diterima karena mengetahui tokoh pergerakan nasional itu sudah beristri bernama Inggit Garnasih. Dia begitu menentang poligami meski mengetahui dalam Islam seorang lelaki diperbolehkan beristri lebih dari satu.

Kesetiaannya mendampingi Proklamator sekaligus Presiden Republik Indonesia pertama dan keluhuran budinya, mendapat ujian ketika Bung Karno menyatakan hendak menikah kembali. Meski hatinya menolak, Fatmawati yang baru saja melahirkan Guruh Sukarno Putra dengan berat hati mengizinkan Bung Karno menikahi Hartini.

Namun, beliau menunjukkan sikapnya yang konsisten menentang poligami dengan meninggalkan Istana dan kelima anak yang disayanginya. Cemburu dengan madunya, marah dengan sikap Bung Karno, sudah pasti, namun beliau tidak menyalahkan siapa-siapa. Karena dia tahu Hartini tak bisa disalahkan dan Bung Karno masih begitu dia cintai.

Itu sekelumit dari sikap luhur dan konsistensi sikap ibu Fatmawati yang direkam dalam buku Suka Duka Fatmawati Sukarno yang ditulis wartawan senior Kadjat Adra’i. Buku setebal 312 halaman yang diterbitkan Yayasan Bung Sukarno, secara detail menampilkan lebih dekat sosok Ibu Fatmawati.

Pelbagai hal tentang ibu Fat –panggilan untuk Ibu Fatmawati-, seperti kegemarannya memasak, kecintaannya terhadap budaya nusantara, cara membesarkan kelima putranya, meredakan pertikaian lawan politik suaminya dengan bersilaturahmi, dan ketulusannya memaafkan Bung Karno yang melukai hatinya. Buku ini pun menyajikan kehidupan keluarga Bung Karno yang harmonis dan humanis.

Buku ini seperti kepingan yang melengkapi kehidupan dan sosok Bung Karno dari sisi paling humanis. Bahkan kejenakaan beliau bersama anggota keluarga dan kehidupan di Istana, termasuk berbagai isu spiritual yang melekat pada dirinya disajikan dengan cara yang menyegarkan.

Buku ini dalam porsi yang pas, menampilkan kelebihan dan kekurangan Bung Karno sebagai seorang ayah, lelaki, dan pemimpin. Sikap toleransi Bung Karno pun tercermin dari penghargaan istri beliau yang luhur dan halus. Mau bersikap berbeda, namun bersedia memaafkan tanpa memudarkan sedikitpun rasa cintanya. Seperti dalam pesan yang tertulis ketika melepas jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso,” Tjintamu menjiwa rakyat, Tjinta Fat.” (wasis wibowo)

Kitchen

October 13th, 2009
Judul Buku : Kitchen
Penulis : Banana Yoshimoto
Penerbit : KPG
Terbit : April 2009
Tebal : 204 Halaman

Dapur Pelebur Luka

“TEMPAT yang paling kusukai di dunia ini adalah dapur. Aku suka sekali dapur yang kotor. Lebih bagus lagi kalau dapur itu luas. Tentu menyenangkan mati di dapur…”

Kalimat-kalimat pembuka dalam novel Kitchen tampak sederhana, namun begitu kuat membetot pembaca untuk menelusuri kisah seorang gadis bernama Mikage Sakura yang menemukan kedamaian dari sebuah ruang yang bernama dapur. Dapur sebenarnya bukan tempat yang istimewa, bahkan sering kali tak dipedulikan. Karena dapur hanya tempat untuk menyajikan makanan dan sering kali terlihat berantakan.

Namun, bagi Mikage, dapur menjadi tempat yang istimewa. Atmosfernya selalu menghadirkan kedamaian dan ketentraman. Kehadiran peralatan, seperti donburi (mangkuk), piring gratin, cangkir, seakan menghadirkan kegembiraan dalam dirinya. Bahkan dia bisa tertidur pulas di samping kulkas yang besar dan dingin, ketimbang di ranjang yang empuk atau sofa yang mewah.

Kecintaannya terhadap dapur seakan membunuh luka dan kepedihan hati setelah neneknya meninggal dunia. Sosok nenek begitu dekat, karena sejak kecil Mikage telah ditinggal kedua orangtuanya. Kepergian neneknya membuat dia kesepian di dalam apartemen yang luas di Tokyo .

Kecintaanya dengan dapur pun membuatnya masuk dalam kehidupan sebuah keluarga yang pelik dan diselimuti duka. Dia mengenal seorang pemuda tampan bernama Yuichi Tanabe dan ibunya Eriko Tanabe. Setelah mengenal lebih jauh, ternyata Eriko sebenarnya adalah ayah Yuichi bukan ibunya. Eriko mengubah penampilannya menjadi perempuan agar bisa membesarkan anaknya, setelah istrinya meninggal.

Melalui dapur, ketiganya menjalin interaksi yang hangat dan penuh aroma keceriaan. Sama hangatnya dengan berbagai sajian makanan khas Jepang, seperti Botamochi, Oden, Tori Kishimen, yang dihidangkan bersama Teh Houji. Kehangatan dan keceriaan ini membuat ketiganya mampu melupakan kesedihan dan luka yang membayangi dalam kehidupan mereka.

Kisah Mikage dan kecintaannya terhadap dapur, disajikan secara menarik dalam novel karya Banana Yoshimoto yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Gaya bertutur yang dituangkan Banana Yoshimoto yang memiliki nama asli Mahoko Yoshimoto begitu kuat. Dengan kalimat yang singkat dan pilihan kata yang ‘menonjok’ membuat novel setebal 204 halaman ini terasa mengalir.

Deskripsi yang disajikan pun nyata dan mampu menarik dalam kehidupan masyarakat Jepang yang modern sekaligus kompleks. Konflik yang dibangun pun ringan karena fokus pada pergulatan batin tokoh-tokoh dalam novel ini yang ditinggalkan orang-orang terdekat dan dicintai. Walaupun alurnya lambat, novel ini mampu menghanyutkan ke dalam nuansa melankolik.

Dalam novel ini, pembaca pun disajikan kisah tambahan yang berjudul Moonlight Shadow. Dalam kisah keduanya ini, Banana Yoshimoto menunjukkan kebolehannya mengolah konflik batin dalam nuansa romansa yang mistis. Tokoh sentral dalam Moonlight Shadow adalah Satsuki, seorang gadis yang kehilangan kekasihnya bernama Hitoshi karena meninggal dunia. Dia bersahabat dengan adik kekasihnya bernama Shu yang kehilangan pujaan hatinya Yumiko.

Kerinduan Satsuki pada Hitoshi coba diobati dengan bertemu Shu yang memiliki kesamaan. Namun, Shu yang mengenang kekasihnya yang meninggal kerap menggenakan pakaian seperti perempuan. Keinginan keduanya untuk bertemu dengan kekasih mereka yang telah pergi begitu kuat, sampai membawa ke dalam sebuah kejadian mistis. Akhir dan misteri apa yang terjadi dalam dua kisah di novel ini menarik untuk diikuti.

http://resensibukubaru.com/

Minggu, Mei 24, 2009

Mengintip Jendela Dunia

Jurnal Nasional, Mei 2009
Penulis: Robert Irwin
Terbit : Maret 2009
Penerbit: Ramala Books
ISBN: 602-8224-17-8
Halaman: 380

Bagi sebagian kecil orang Indonesia, mengunjungi Eropa, bahkan berkeliling dunia, adalah perkara kecil. Sementara sisanya, bisa dibilang “buta” soal kenyataan yang terdapat di negeri-negeri yang jauh dari Indonesia, kecuali hanya terkait isu yang diberitakan media.

Muhammad Najib dalam novelnya, Safari, seolah memahami keingintahuan pembaca mengenai apa dan bagaimana negeri serta manusia di seberang benua ini. Dengan gaya bercerita yang sederhana, mudah ditangkap, dan runut, Muhammad Najib membantu pembaca untuk memahami negeri asing dari sudut pandang seorang Indonesia yang berwawasan dan menghormati perbedaan.

Jamal Bin Mujahid adalah pemuda yang berbakat. Berkat prestasi akademis dan riwayat baiknya dalam hal organisasi, ia mendapat beasiswa untuk mengambil program master di Reinisch-Westfa-lischen Technischen Hochs-chull Aachen (RWTH), yaitu kampus tempat Habibie dulu menimba ilmu.

Mengawali hari-hari awal-nya di negeri yang belum pernah dikenalnya, pemuda usia 20-an ini berupaya “berkenalan” dulu dengan tempat tinggalnya. Amal memulai proses pendekatan dengan berkeliling Aachen, terutama berburu tempat makan yang pasti halal, seperti restoran Turki milik Mustafa di dekat kampus.

Semestinya Amal bisa saja bertenang-tenang mengukir prestasi di tempatnya berkuliah. Hanya saja energi kemudaan dan juga keinginan menambah wawasan selalu membawanya pada perkenalan dengan orang-orang baru yang berujung pada ikatan perorganisasian atau persahabatan.Pada hari pertamanya kuliah, Amal bahkan langsung menjalin persahabatan dengan mahasiswa Palestina, Azam Albalawi. Begitu juga kedekatannya dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin, membawanya pada keterlibatan dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang lebih dalam dan serius. Bahkan, dalam proses pencalonan masa bakti yang baru, Amal terpilih mengetuai PPI Jerman sehingga mesti sering bolak-balik ke Berlin untuk menunaikan tugasnya.

Baik persahabatannya dengan Azam maupun aktivitasnya sebagai Ketua PPI menggiring Amal untuk berkeliling ke negara-negara lainnya. Dengan hanya mengeluarkan biaya tiket, perjalanan Amal di Palestina sudah diatur maksimal melalui perbatasan Yordania menuju Palestina. Amal dijemput seorang guide untuk berwisata, termasuk juga untuk mengunjungi Masjid Al-Aqsha.

Ketika sampai di situs yang ramai wisatawan dan peziarah tersebut, Amal dan Khalid (pemandunya) harus melewati pemeriksaan yang dilakukan tentara Israel dan petugas Palestina. Keduanya bisa langsung dibedakan melalui penampilannya. Tentara Israel berpakaian lengkap dengan senapan tergantung di dada. Petugas Palestina hanya mengenakan pakaian seadanya dengan tangan kosong saja. Menurut Khalid, ketimpangan macam ini sudah biasa. Malah orang-orang sipil Yahudi diizinkan memiliki senjata api dengan alasan melindungi diri di saat penduduk Arab tidak diperbolehkan. Alhasil, orang Arab kerap jadi korban muntahan peluru dalam sebuah keributan, meski awalnya perselisihan hanya adu mulut.

Di Masjid Al-Aqsha, Amal memanjatkan doa untuk Nabi Ibrahim, Ismail, Daud, Sulaiman, dan tentu Nabi Muhammad SAW. “Ya Allah, Engkau telah mengantarku ke tempat Rasulullah melakukan mi’raj untuk menerima perintah salat lima waktu yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi umat Islam,” gumamnya spontan dalam hati. Sepulangnya dari Palestina, Amal langsung terlibat diskusi hangat dengan Azam.

“Dalam retorika tokoh-tokoh mereka selalu menghormati HAM. Di negeri ini orang berpakaian minim tak dilarang, bahkan komunitas yang tak suka menutup aurat pun diberi tempat. Tapi mereka yang memakai jilbab?” kata Azam mengemukakan kekecewaannya sebagai orang Palestina atas sikap negara Barat, khususnya AS.

Begitulah setiap kunjungannya ke sebuah negeri selalu membekali Amal dengan pengetahuan baru. Tidak hanya soal sejarah dan tata kota, tapi juga sikap-sikap politis pemerintahan. Pengetahuan ini makin bertambah ketika ia bersilaturahmi dalam rangka membahas pembentukan PPI se-Eropa dengan mengunjungi London, Paris, Turki. Pertemuan-pertemuan pelajar di Istanbul kemudian juga berbuah undangan bagi Amal untuk bersilaturahmi ke Mesir yang semakin mendekatkannya dengan sejarah Mesir Kuno.

Bisa dibilang, lewat buku ini, penulis Muhammad Najib telah memberikan informasi dasar yang berharga mengenai situs-situs penting yang jadi kebanggaan tiap negara. Selain mendeskripsikan pemandangan dan situs serta artefak peninggalan sejarah yang indah, Muhammad Najib banyak bercerita soal sejarah Islam dan Barat di negara-negara tersebut dan pengaruhnya terhadap gaya arsitektural bangunan-bangunan mereka. Selain itu, sejarah para tokoh yang berbakti dan berkorban bagi keyakinan Islam juga banyak diungkapkan. Karenanya, buku ini bisa juga jadi semacam pengantar awal bagi mereka yang ingin bepergian ke negara-negara yang dikunjungi Amal.

Muhammad Najib sepertinya memang lebih fokus pada informasi terkait negeri asing daripada perjuangan si tokoh utama sendiri. Pada bab demi bab, kehidupan Amal di negeri orang sama sekali tak mengalami kesulitan berarti. Mungkin karena ia termasuk mahasiswa jenius yang pada akhir studinya mendapat predikat summa cumlaude. Amal bahkan bisa mudik gratis setelah 3 tahun tinggal di Jerman karena disertakan dosennya untuk datang ke seminar tentang perkembangan mutakhir Information and Computer Technology (ICT) di The Australian National University (ANU) yang kemudian dilanjutkan dengan wisata ke Bali tempat di mana keluarga Amal tinggal.

Meski begitu, karakter dan pola pikir Amal sebagai seorang mahasiswa yang berwawasan luas, maju dan bersahaja jelas tergambar dari berbagai keputusan dan tanggapan atas semua yang dihadapinya. Termasuk untuk memanfaatkan kesempatannya menuntut ilmu di negara asing dengan maksimal.

Cinta Membuatku Bangkit Saat Lupus Berbunga Hikmah

Sumber: Republika, 10 Mei 2009
Penulis: Agustini Suciningtias
Terbit : April 2009
Penerbit: Mizania
ISBN: 978-602-8236-40-9
Halaman: 168 /

Penyakit yang menyerang daya tahan tubuh itu bisa dialami siapa saja. Muda, tua, meski kebanyakan sasarannya adalah perempuan aktif dan produktif. Ketika terkena penyakit ini, sebagian besar langsung merasakan tubuhnya tanpa daya lantaran daya tahan tubuh melemah. Terlebih, lupus cepat pula menggerogoti organ tubuh lainnya.

Maka, buku ini pun hadir untuk memberi semangat. Buku Cinta Membuatku Bangkit merupakan kumpulan kisah nyata 13 odapus (orang dengan lupus, red) dengan profesi beragam seperti perawat, guru, dosen, apoteker, hingga penulis. Mereka bercerita tentang detik demi detik penyakit mengerikan itu datang dan bersarang seumur hidup di tubuhnya.

Seperti kisah Annisa Budiastuti yang menceritakan tentang gejala penyakit yang datang saat usianya masih dini, 13 tahun. Semula, diagnosis dokter untuk Annisa adalah penyakit asma berat. Hampir bersamaan, ibunda Annisa yang biasa disapanya dengan Ummi mengalami gejala serupa. Bahkan, diagnosis untuk sang ummi lebih banyak lagi di antaranya radang tenggorokan kronis, tipus, bronchitis sampai TBC.

Dari hasil tes darah secara lengkap, justru Ummi yang pertama kali divonis sakit lupus. Tak berapa lama, vonis serupa jatuh pula untuk Annisa. Rupanya, cobaan belum juga pergi. Giliran adik bungsu Annisa, Fitria (7 tahun), divonis lupus. Dalam usia semuda itu, Dede, panggilan akrab Fitria, bisa tenang dan tidak menangis ketika rasa sakit menderanya. “Aku dapat merasakan penderitaan yang dialaminya. Dalam tubuh mungilnya, tersimpan ketabahan dan kekuatan yang luar biasa,” ungkap Annisa.

Kini, mereka bertiga saling menguatkan. Ummi tidak pernah menangis di depan anak-anaknya, walaupun di antara mereka sedang sakit berat. Ummi selalu menenangkan dan meyakinkan agar anak-anaknya selalu optimis bahwa suatu saat Allah menunjukkan jalan kesembuhan. “Janganlah kita takut mati karena suatu penyakit, khususnya lupus. Kematian suatu kepastian. Yang penting adalah bekal apa yang sudah kita persiapkan sebelum mati, dan dalam keadaan bagaimana kita menghadap-Nya,” pesan dari Annisa.

Masih ada 12 kisah sejati dipaparkan di buku setebal 164 halaman ini seperti Takdir yang Terbaik dikisahkan oleh Aminah yang berprofesi sebagai perawat, serta perjuangan Yeni Maryani melawan lupus hingga sukses menggapai cita-cita dilantik sebagai apoteker. Semua kisah disajikan di buku ini mengundang haru biru.

Buku ini merupakan buku kedua yang diluncurkan Syamsi Dhuha Foundation. Sebelumnya, yayasan yang didirikan oleh Dian Syarief yang juga odapus adalah Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan. Buku yang mengandung hikmah mendalam ini bisa menjadi penyemangat bahwa kehidupan di luar sana terus berputar. Dengan mengidap lupus, dunia tidak akan langsung kiamat.

Kendati semula merasa hancur, kini mereka memilih untuk dapat bersahabat dengan lupus. Ketimbang harus terus luluh, mereka memutuskan untuk bangkit berjuang melawan penyakit yang bercokol dalam tubuhnya. Semangat yang juga dikobarkan oleh komunitas Syamsi Dhuha Foundation, tempat berkumpul para odapus. Mereka saling berbagi pengalaman hingga hilang rasa pesimistis. Bertepatan dengan Hari Lupus Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Mei ini, diharapkan buku ini bisa menjadi hadiah terindah.

Tabung Oksigen Ketiga dari Pidi Baiq

Sumber: Lampung Pos, 19 April 2009
Peresensi: Denny Ardiansyah
Judul buku: Drunken Mama (Kumpulan Kisah Tidak Teladan)
Penulis: Pidi Baiq
Terbit : Februari 2009
Penerbit: Dar Mizan
ISBN: 978-979-752-952-9
Halaman: 216 /

Untuk ketahuilah bersama alangkah hidup ini menakjubkan, sungguh menakjubkan. Sayang sekali kalau hidup bagimu hanya sekadar untuk menghirup oksigen. (Pidi Baiq, Drunken Mama; hlm. 116-117)

KONON, kehidupan ialah pusaran tanpa titik henti. Mati bukanlah akhir dari kehidupan manusia. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat doktrin yang termaktub dalam ajaran agama-agama di dunia yang semuanya yakin akan adanya kehidupan setelah kematian menyambangi manusia. Dus, tidaklah aneh jika manusia senantiasa mencari jawaban atas pelbagai fenomena yang melingkupinya setiap hari, seumur hidupnya.

Kiranya, hanya ada satu kegiatan yang membuat manusia tampak sebagai “benar-benar manusia”, yakni menafsir kehidupan. Kegiatan tersebut menunjukkan manusia sungguh-sungguh memiliki akal–entitas yang membedakan manusia dengan hewan.

Akal yang selalu digunakan untuk menafsir kehidupan niscaya akan membuat manusia tak terperosok lubang hitam banalitas kebudayaan. Namun, akal yang digunakan untuk menafsir kehidupan haruslah bersifat bebas, lentur, dan liar. Sebab, kehidupan sehari-hari manusia telah disesaki segala hal yang serbakaku. Artinya, manusia tak harus berkerut kening dan berpeluh badan ketika menafsir lembar demi lembar dalam “buku kehidupan”.

Kegiatan menafsir kehidupan ini sebenarnya pernah pula disebut sebagai sesuatu yang salah oleh Karl Marx. Filsuf asal Jerman itu berkata, “Para filsuf hanya menginterpretasikan dunia dalam pemikirannya, padahal bagaimanapun yang terpenting ialah mengubahnya!” Untunglah, Pidi Baiq bukan seorang filsuf–setidaknya ia tidak pernah mengaku sebagai filsuf, maka kita tetap laik membaca buku ketiga dari Seri Drunken yang ditulisnya

Pidi seolah tiada pernah merasa jengah menafsir fenomena yang melintas di hadapan matanya. Lebih jauh, ia pun tampaknya belum merasa cukup mengembangkan imajinasi dalam berperilaku yang oleh awam disebut sebagai ganjil dan aneh. Tetapi, Pidi hanya ingin menghibur hati manusia yang sering tertimpa lara nan berat. Pidi, tidak lebih, cuma ingin mengajak orang lain menafsir kehidupan dengan hati riang dan perasaan yang gembira. Tentu saja, tujuannya ialah kehidupan yang bahagia.

Membaca seluruh karya Pidi, sampai di Drunken Mama, saya memang harus tersentak dengan pertanyaan yang muncul otomatis dalam hati. Benarkah semua cerita Pidi selama ini sungguh-sungguh terjadi?

Kalau melihat struktur dan efek penceritaan dalam kisah yang telah ditulis Pidi sebagai catatan harian, pembaca akan merasakan kedahsyatan cerita-cerita tersebut. Kita memang akan dibawa untuk memercayai bahwa seluruh kisah Pidi adalah nyata adanya. Namun, lagi-lagi, kaidah umum memaksa pembaca untuk meyakinkan diri dengan bertanya pada hatinya; “Sungguhkah ada manusia seperti Pidi ini?”

Kalau cerita-cerita humor Pidi ialah suatu kebenaran, secara tidak sadar, ia telah meruntuhkan kekhawatiran Karl Marx terhadap orang-orang yang sering menafsir kehidupan. Pidi tak hanya menafsir kehidupan, tapi ia mengubahnya lewat perilaku yang humoris dan kritis. Sementara itu, jika Pidi hanya sekadar berimajinasi dalam bentuk tulisan–untuk tak menyebutnya berbohong–termasuk dalam 17 kisah di Drunken Mama ini, tak seharusnya kita mencaci Pidi. Sebab, bagaimana mungkin memarahi orang yang telah menghibur hati?

Anggap saja cerita-cerita Pidi bagaikan tabung oksigen yang biasa diberikan kepada orang yang pingsan. Membaca semua cerita Pidi memang ibarat menghirup oksigen yang membuat kita segar untuk kembali menapaki gemunung persoalan dalam hidup ini. Bahkan lebih dari itu, kisah-kisah humor yang ditulis Pidi seolah setia mengajak pembaca untuk tak sekadar menjalani kehidupan yang kaku dalam rutinitas. Maka, sekali lagi, sampai di Drunken Mama, Pidi Baiq seolah belum kehabisan energi kreatifnya. Hingga tetaplah laik kalau karya paling anyar dari Pidi ini dibaca.

* Denny Ardiansyah, peneliti kebudayaan di SoSADem (Society of Sociological Analitic for Democracy)

Mengintip Jendela Dunia

Jurnal Nasional, Mei 2009
Penulis: Robert Irwin
Terbit : Maret 2009
Penerbit: Ramala Books
ISBN: 602-8224-17-8
Halaman: 380

Bagi sebagian kecil orang Indonesia, mengunjungi Eropa, bahkan berkeliling dunia, adalah perkara kecil. Sementara sisanya, bisa dibilang “buta” soal kenyataan yang terdapat di negeri-negeri yang jauh dari Indonesia, kecuali hanya terkait isu yang diberitakan media.

Muhammad Najib dalam novelnya, Safari, seolah memahami keingintahuan pembaca mengenai apa dan bagaimana negeri serta manusia di seberang benua ini. Dengan gaya bercerita yang sederhana, mudah ditangkap, dan runut, Muhammad Najib membantu pembaca untuk memahami negeri asing dari sudut pandang seorang Indonesia yang berwawasan dan menghormati perbedaan.

Jamal Bin Mujahid adalah pemuda yang berbakat. Berkat prestasi akademis dan riwayat baiknya dalam hal organisasi, ia mendapat beasiswa untuk mengambil program master di Reinisch-Westfa-lischen Technischen Hochs-chull Aachen (RWTH), yaitu kampus tempat Habibie dulu menimba ilmu.

Mengawali hari-hari awal-nya di negeri yang belum pernah dikenalnya, pemuda usia 20-an ini berupaya “berkenalan” dulu dengan tempat tinggalnya. Amal memulai proses pendekatan dengan berkeliling Aachen, terutama berburu tempat makan yang pasti halal, seperti restoran Turki milik Mustafa di dekat kampus.

Semestinya Amal bisa saja bertenang-tenang mengukir prestasi di tempatnya berkuliah. Hanya saja energi kemudaan dan juga keinginan menambah wawasan selalu membawanya pada perkenalan dengan orang-orang baru yang berujung pada ikatan perorganisasian atau persahabatan.Pada hari pertamanya kuliah, Amal bahkan langsung menjalin persahabatan dengan mahasiswa Palestina, Azam Albalawi. Begitu juga kedekatannya dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Berlin, membawanya pada keterlibatan dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang lebih dalam dan serius. Bahkan, dalam proses pencalonan masa bakti yang baru, Amal terpilih mengetuai PPI Jerman sehingga mesti sering bolak-balik ke Berlin untuk menunaikan tugasnya.

Baik persahabatannya dengan Azam maupun aktivitasnya sebagai Ketua PPI menggiring Amal untuk berkeliling ke negara-negara lainnya. Dengan hanya mengeluarkan biaya tiket, perjalanan Amal di Palestina sudah diatur maksimal melalui perbatasan Yordania menuju Palestina. Amal dijemput seorang guide untuk berwisata, termasuk juga untuk mengunjungi Masjid Al-Aqsha.

Ketika sampai di situs yang ramai wisatawan dan peziarah tersebut, Amal dan Khalid (pemandunya) harus melewati pemeriksaan yang dilakukan tentara Israel dan petugas Palestina. Keduanya bisa langsung dibedakan melalui penampilannya. Tentara Israel berpakaian lengkap dengan senapan tergantung di dada. Petugas Palestina hanya mengenakan pakaian seadanya dengan tangan kosong saja. Menurut Khalid, ketimpangan macam ini sudah biasa. Malah orang-orang sipil Yahudi diizinkan memiliki senjata api dengan alasan melindungi diri di saat penduduk Arab tidak diperbolehkan. Alhasil, orang Arab kerap jadi korban muntahan peluru dalam sebuah keributan, meski awalnya perselisihan hanya adu mulut.

Di Masjid Al-Aqsha, Amal memanjatkan doa untuk Nabi Ibrahim, Ismail, Daud, Sulaiman, dan tentu Nabi Muhammad SAW. “Ya Allah, Engkau telah mengantarku ke tempat Rasulullah melakukan mi’raj untuk menerima perintah salat lima waktu yang sampai saat ini menjadi pegangan bagi umat Islam,” gumamnya spontan dalam hati. Sepulangnya dari Palestina, Amal langsung terlibat diskusi hangat dengan Azam.

“Dalam retorika tokoh-tokoh mereka selalu menghormati HAM. Di negeri ini orang berpakaian minim tak dilarang, bahkan komunitas yang tak suka menutup aurat pun diberi tempat. Tapi mereka yang memakai jilbab?” kata Azam mengemukakan kekecewaannya sebagai orang Palestina atas sikap negara Barat, khususnya AS.

Begitulah setiap kunjungannya ke sebuah negeri selalu membekali Amal dengan pengetahuan baru. Tidak hanya soal sejarah dan tata kota, tapi juga sikap-sikap politis pemerintahan. Pengetahuan ini makin bertambah ketika ia bersilaturahmi dalam rangka membahas pembentukan PPI se-Eropa dengan mengunjungi London, Paris, Turki. Pertemuan-pertemuan pelajar di Istanbul kemudian juga berbuah undangan bagi Amal untuk bersilaturahmi ke Mesir yang semakin mendekatkannya dengan sejarah Mesir Kuno.

Bisa dibilang, lewat buku ini, penulis Muhammad Najib telah memberikan informasi dasar yang berharga mengenai situs-situs penting yang jadi kebanggaan tiap negara. Selain mendeskripsikan pemandangan dan situs serta artefak peninggalan sejarah yang indah, Muhammad Najib banyak bercerita soal sejarah Islam dan Barat di negara-negara tersebut dan pengaruhnya terhadap gaya arsitektural bangunan-bangunan mereka. Selain itu, sejarah para tokoh yang berbakti dan berkorban bagi keyakinan Islam juga banyak diungkapkan. Karenanya, buku ini bisa juga jadi semacam pengantar awal bagi mereka yang ingin bepergian ke negara-negara yang dikunjungi Amal.

Muhammad Najib sepertinya memang lebih fokus pada informasi terkait negeri asing daripada perjuangan si tokoh utama sendiri. Pada bab demi bab, kehidupan Amal di negeri orang sama sekali tak mengalami kesulitan berarti. Mungkin karena ia termasuk mahasiswa jenius yang pada akhir studinya mendapat predikat summa cumlaude. Amal bahkan bisa mudik gratis setelah 3 tahun tinggal di Jerman karena disertakan dosennya untuk datang ke seminar tentang perkembangan mutakhir Information and Computer Technology (ICT) di The Australian National University (ANU) yang kemudian dilanjutkan dengan wisata ke Bali tempat di mana keluarga Amal tinggal.

Meski begitu, karakter dan pola pikir Amal sebagai seorang mahasiswa yang berwawasan luas, maju dan bersahaja jelas tergambar dari berbagai keputusan dan tanggapan atas semua yang dihadapinya. Termasuk untuk memanfaatkan kesempatannya menuntut ilmu di negara asing dengan maksimal.

Spirit Kesahajaan, Cinta Kasih dan Kemanusiaan di Flores

Sumber: Harian SOLOPOS, 22 Maret 2009
Peresensi: Sofia Rahmawati
Penulis: Ade Nastiti
Terbit : Maret 2009
Penerbit: Lingkar Pena
ISBN: 979-1367-82-0
Halaman: 428

Membaca 23 bab awal dari 42 bab cerita dalam novel ini, pembaca diajak untuk belajar materi Propermas dalam kemasan naratif yang menarik. Latar belakang penulis yang pernah terjun langsung dalam dunia pemberdayaan masyarakat, mengenalkan sesuatu yang berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat tersebut kepada pembaca. Salah satunya adalah profesi fasilitator yang belum banyak dikenal orang. Tidak setenar dokter, guru, PNS dan sebagainya, tapi profesi ini juga merupakan salah satu bentuk sebuah pengabdian kepada masyarakat.

Dalam novel ini, diceritakan sosok Hening sebagai seorang fasilitator sebuah program pemberdayaan masyarakat. Riung, sebuah daerah di Flores yang terpencil namun rupawan, menjadi saksi bisu perjalanan hidup Hening dalam usahanya mencari sang ayah di antara pengabdian terhadap sebuah profesi dan mencari kebahagiaan yang diimpikannya.

Tantangan demi tantangan dihadapinya. Hari-hari Hening menjadi semakin berwarna. Bertemu orang-orang baru, kebudayaan baru, pressure dan dinamika kerja yang tinggi menjadi hiburan indah untuknya. Takdir hidup di Flores, membawanya bertemu dengan sosok-sosok yang berharga dalam hidupnya. Riung yang sepi, bukan berarti sepi di hati Hening. Apalagi setelah dia mengenal sosok Adrian, seorang duda agnostik beranak satu yang bisa menaklukkan kerasnya hati Hening.

Hening terjebak dalam kisah cinta yang meragukan bersama Adrian. Meskipun mereka saling mencintai, namun Adrian sudah mempunyai tunangan. Di satu sisi, Hening telah memiliki Fajar. Laki-laki yang telah sabar memahami dirinya selama 10 tahun. Jebakan cinta segitiga itu akhirnya terkuak. Ego dan idealisme Hening tentang cinta, membawanya kehilangan Adrian dan Fajar. Meskipun hati tercabik, Hening bisa melarutkan emosi dan menjalani profesinya di Riung dengan profesional.

Romansa cinta Hening dan pengabdiannya terhadap masyarakat Riung membawanya bertemu sang ayah yang dicarinya, meskipun hanya sekejap. Tabir kepergian ayahnya meninggalkan keluarga 24 tahun lalu juga telah terbuka. Beban yang selama ini menggayuti hati Hening telah sirna.

Kurang berliku

Enam tahun sudah berlalu, sosok Adrian telah menghilang lama dari hidupnya. Namun ternyata cinta di hati Hening kepada Adrian belum menghilang, namun Hening tidak mau berharap lebih. Hanya sebuah keyakinan bahwa cinta yang diharapkan itu benar-benar singgah kepadanya, meskipun bukan Adrian. Namun siapa sangka jika cinta itu akan kembali. Cinta memang misteri, dia akan datang pada waktunya.

Sebuah cerita yang luar biasa. Unsur indah dan bermanfaat untuk pembaca telah menjiwai isi dan teknik penulisannya. Gaya bahasanya lugas, meskipun pilihan kata untuk dialog banyak menggunakan bahasa lokal. Namun, tidak mengurangi keindahan cerita bahkan menjadi variasi yang manis. Pembaca tetap bisa memahami maknanya karena terbantu oleh catatan kaki yang ditampilkan.

Novel ini dibangun dari ide brilian dengan nuansa intelektual yang tinggi. Mungkin yang patut dikritisi hanyalah alur cerita yang kurang berliku dalam perjuangan menemukan sang ayah. Konflik yang menjadi tujuan awal cerita ini, terkesan datar dan tidak menjadi konflik utama bahkan hanya menjadi “figuran” cerita, karena sedikit sekali terulas. Namun kekurangan itu bisa ditutupi dengan deskripsi setting cerita yang bagus. Penjelasan mengenai program pemberdayaan masyarakat, sistem pembangunan bottom up dan teknis-teknisnya, terdeskripsikan dengan jelas. Hal ini menunjukkan jika sang penulis memahami betul materi yang menjadi latar belakang cerita.

Happy ending yang dipilih penulis untuk penyelesaian cerita, membuat unsur indah sebuah novel terpenuhi, yaitu menghibur. Sebab, sebagian besar pembaca menyukai sebuah akhir yang bahagia di banding sedih atau menggantung.

Melihat dari unsur manfaat, novel ini sangat edukatif. Penulis menyampaikan sebuah pendidikan tentang kesahajaan, cinta kasih, kemanusiaan, senasib sepenanggungan dan toleransi. Hal ini ditunjukkan ketika seorang Hening, gadis kota yang berjilbab, diterima baik oleh lingkungan Katolik taat dalam kondisi perekonomian yang kurang. Mereka bahkan sangat menghargai keberadaan Hening, dan tidak mempersoalkan perbedaan keyakinan yang dianut.

Setting tempat yaitu Flores, juga mengajarkan sebuah jendela baru bagi pembaca. Bahwa sebuah daerah yang jauh dari ibukota dan tidak seramai kota-kota di Jawa, tidak selalu menciptakan perasaan sepi dan asing bagi orang kota seperti Hening dan teman-temannya. Syaratnya adalah, manusia tersebut bisa membawa diri di manapun dia berada.

Perpaduan ide dan pengalaman penulis, membuat novel ini sangat layak dibaca. Kisah heroik para fasilitator dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di tengah isu-isu korupsi terhadap dana pembangunan, setidaknya bisa membuka wacana kita untuk percaya bahwa idealisme terhadap pembangunan itu masih ada. Bahkan lebih jauh, bisa menggugah hati kita untuk peduli terhadap kondisi saudara sebangsa dan se- Tanah air yang berada jauh di pelosok Indonesia. Meskipun terlihat sederhana, namun pesan ini menyimpan makna yang dalam jika kita renungkan dan lakukan.

Timor Timur, Satu Menit Terakhir

Judul: Timor Timur, Satu Menit Terakhir
Penulis: CM Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan: November 2008
Tebal: 483 halaman

Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.


Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.


Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.


Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.
Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).


Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.


Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional, yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.


Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.


Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.


Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.


Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.


Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari Indonesia.


Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.


Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi kepada Bunda Maria.


Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.


Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.


Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan.

Selasa, Februari 17, 2009

Menolak Panggilan Pulang

Judul : Menolak Panggilan Pulang

Penulis : Ngarto Februana

Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta, Cetakan I, Juli 2000

Tebal : 207 Halaman



Tak semua perubahan dan kemajuan memetik buah yang manis. Ketika sebuah komunitas maupun individu diterjang datangnya perubahan baru yang tak terantisipasi, maka yang terjadi justru kegamangan. Dan nyatanya, tak ada yang lebih dahsyat dari kehancuran yang dianyam melalui meleburnya penetrasi sebuah kultur dalam sosok individu maupun komunitas.

Desa Malinau adalah bagian dari tiga belas desa di Kecamatan Loksado, Perbukitan Meratus, Kalimantan Selatan. Di dalamnya, hidup sekelompok warga Dayak Meratus yang sangat patuh pada tradisi nenek moyang yang turun-temurun. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, tak heran jika kemajuan pembangunan desa itu pun berjalan sangat lamban. Ketidakmengertian pada teknologi dan kegigihan untuk mempertahankan adat, akhirnya, menggiring masyarakat Malinau pada sebuah pemikiran yang selalu skeptis dan penuh curiga pada setiap orang yang datang dari luar Meratus.

Ketika Rohaimi, salah satu staf Dinas Sosial di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, datang ke desa itu pada tahun 1981 untuk menawarkan cara bercocok tanam dengan sistem pemupukan dan menggunakan cangkul, justru ditanggapi curiga oleh masyarakat Dayak Meratus. Penghulu Dingit, tetua adat Malinau, menolak tawaran itu. Lima tahun kemudian, saat Rohaimi datang kembali ke Malinau ketika berlangsung Aruh Ganal (pesta adat setelah panen padi), ia menawarkan diri menjadi orangtua asuh bagi Utay, anak tunggal penghulu Dingit, supaya bisa bersekolah di Kandangan. Meski semula curiga, akhirnya Dingit memperbolehkan anaknya bersekolah di kota. Utay pun pergi meninggalkan teman-teman sepermainannya, termasuk Aruni, anak gadis penghulu Balai Jalay yang telah menjadi jodohnya secara adat.

Tujuh tahun kemudian, Utay menamatkan SMA dan juga kursus bahasa Inggris. Atmosfer kota yang serba berkecukupan dan penuh kemudahan, rupanya, telah lekat dalam darah Utay. Mulailah banyak perdebatan dalam dirinya ketika kembali ke Desa Malinau, tanah kelahirannya. Sementara itu, Aruni pun sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang cerdas. Ia membantu mengajar keterampilan tangan di sebuah sekolah kecil di Malinau. Pemikiran Utay yang sudah lebih moderat bertemu dengan kekolotan adat di desanya. Utay pun gamang, apalagi ketika ayahnya menagih janjinya sebagai penerus tetua adat itu. Di satu sisi, ia pernah bersumpah untuk menjunjung tinggi adat leluhurnya. Tapi, pendidikan yang telah dikenyamnya melahirkan satu cita-cita baru: bekerja sebagai tenaga administrasi di PT Rimba Nusantara, sebuah perusahaan hutan tanaman industri di Banjarmasin. Ia juga ingin masyarakat Malinau menerima tawaran perusahaan itu untuk bekerja sama mengelola lahan mereka. Rasa sayang penghulu Dingit membuatnya mengabulkan keinginan anaknya untuk bekerja di kota, sembari menunggu saat yang tepat untuk kembali ke Malinau dan menjadi penerus sebagai penghulu Balai Bidukun.

Bayangan kemapanan, sedikit demi sedikit, memperbesar semangat pemberontakan dalam diri Utay. Anak penghulu yang disegani di Desa Malinau itu pun telah berubah: dari anak kampung yang terbelakang, menjadi pemuda terpelajar yang angkuh. Adat-istiadat tak lagi dihiraukannya. Iming-iming sepeda motor, kegemerlapan kota, dan niatnya menikahi Aruni, membuat Utay akhirnya nekat. Ia menipu perusahaannya dengan memberikan laporan palsu bahwa warga Desa Malinau setuju bekerja sama dengan PT Rimba Nusantara untuk menanam pohon tanaman industri. Malinau pun geger dan pertikaian tak terhindarkan. Utay ditangkap dan dihukum secara adat. Penyesalan dan keterpurukannya semakin menjadi, apalagi setelah tahu Aruni hamil. Di tengah penyesalannya, gemerlapan kota timbul lagi mendesak batinnya. Dan dendamnya pun berkobar, menyulut keinginannya lari dari Malinau.

Membaca novel ini seperti menjelajah ke suatu tempat asing yang tak terpikirkan sebelumnya. Cekaman adat Dayak Meratus yang mistis dan kolot sangat terasa dari paparan berbagai bentuk ritual yang dilakukan warga Malinau. Jalinan cinta Utay dan Aruni dijadikan penulisnya sebagai jembatan untuk mengilustrasikan ruwetnya pertemuan budaya yang saling berlawanan. Sederhana, tapi mengena. Novel ini tampaknya lebih mengedepankan aspek science melalui pendekatan budaya. Itulah sebabnya, banyak konflik yang mestinya bisa digarap lebih detail dan menarik, justru hanya ditampilkan secara ilustratif. Padahal, pertemuan antara adat Malinau yang kolot dengan kehidupan kota yang begitu kompromistis bisa menjadi picu sebuah konflik yang tajam dan dramatis. Proses penetrasi budaya yang melebur dalam diri Utay itulah yang agaknya tak digarap penulisnya dengan saksama. Meski begitu, dari sisi paparan data tentang sebuah komunitas, tampak jelas penguasaan penulis tentang "rimba" yang dimasukinya. Dan bagaimanapun, itu juga suatu kelebihan.

http://www.geocities.com/ngartofebruana/tanggapan.htm

Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam


Keadilan, menurut Al-Quran, merupakan pendamping tauhid, rukun ma’ad (hari akhirat), tujuan disyariatkannya nubuwwah (kenabian) dan filsafat kepemimpinan, serta tolok ukur kesempurnaan seseorang dan standar kesejahteraan masyarakat. Masih merujuk pada penjelasan Al-Quran, Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa keadilan merupakan sejenis “pandangan-dunia” (world view).

Dalam buku ini, Muthahhari melakukan eksplorasi atas tema penting dalam khazanah keilmuan-keislaman tersebut, sekaligus mendemonstrasikan wawasan luasnya untuk membuktikan pernyataanya itu. Dalam mengkaji keadilan ini, dia menggunakan baik pendekatan naqliah (pendekatan berdasarkan nash-nash wahyu dan hadis) maupun aqliah (pendekatan filosofis dan teologis berdasarkan rasio).

Sebelum menginjak pada inti kajiannya, pada bagian Pendahuluan Muthahhari menjelaskan secara panjang lebar perdebatan menarik berkaitan dengan soal ini—suatu perdebatan panjang yang akhirnya menghasilkan dua mazhab teologis terkenal dalam pemikiran Islam, yaitu Asy’ariah dan Mu’tazilah. Kemudian, dia juga menjelaskan munculnya soal prinsip keadilan dalam dunia fiqih yang dicerminkan dengan pertentangan antara ahli qiyas dan ahli hadis.

Setelah menjelaskan beberapa kekhasan pemikiran mazhab Syi‘ah dalam membahas tema keadilan, Muthahhari pun menunjukkan betapa tema keadilan ini merupakan rahasia sumber sejati dalam mendinamisasi pemikiran di dunia Islam.

http://www.kutukutubuku.com/2008/open/13762/keadilan_ilahi_asas_pandangan-dunia_islam

Harry Potter & the Deathly Hallows


Kalau dalam buku Harry Potter ke-6 "Half Blood Prince" ada banyak komplain mengenai kurangnya ketegangan, maka dalam buku terakhir Harry Potter "The Deathly Hallows" is all about action right from the start. Tidak ada lagi cerita romansa remaja, perayaan Natal yang hangat, club duel, perjalanan wisata ke Hogsmade maupun sorak sorai pertandingan Quidditch.

Berhubung ini adalah salah satu review awal jadi gw akan mencoba untuk memberikan review secara garis besar saja tanpa spoilers, cross my heart =). Dalam buku Harry Potter karya J.K Rowling yang terakhir ini, Harry, Ron & Hermoine terlibat dalam perjalanan untuk menjalankan misi terakhir yang dipercayakan DUmbledore kepada mereka yaitu mengumpulkan dan menghancurkan horcruxes yang digunakan sebagai wadah penyimpanan "jiwa" Voldermort dalam rangka membuatnya menjadi tidak immortal dan bisa dikalahkan. Mereka berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya jauh dari keamanan dan kenyamanan rumah dan sekolah berusaha untuk menghindari penawanan, menyelesaikan konflik, dan pada akhirnya secara tidak diduga menemukan "the hallows" yang disebut-sebut hanya sebagai mitos belaka.

Sementara itu, kegelapan menyebar dengan cepat bagaikan racun mengalir di pembuluh darah di mana Voldermort dan pengikutnya berhasil menguasai Hogwarts & Kementrian Sihir dan secara terbuka dan terang-terangan menyebarkan teror kepada Muggles, muggle-borns, squibs, dan siapapun yang melawannya.

Halaman demi halaman penuh emosi yang menegangkan, menyedihkan maupun yang membahagiakan dan berbagai jawaban maupun twist terungkap di buku Harry Potter yang terakhir ini dengan ending yang luar biasa.

Secara keseluruhan, J.K Rowling dalam serial Harry Potter ini sudah berhasil menciptakan suatu dunia fantasi kecilnya sendiri dengan berbagai detil yang melarutkan pembacanya ke dalam imajinasi penulis. BRAVO for J.K Rowling and most of all, thank you for sharing your amazing fantasy world with us.

A quote from Paul Sweeney said "You know you've read a good book when you turn the last page and feel a little as if you have lost a friend". Indeed!


http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=3151

Minggu, Februari 15, 2009

30 Menit Tuntas Merakit Komputer


Judul : 30 Menit Tuntas Merakit Komputer
Penulis : Aristo Candra
ISBN : 978-979-24-9914
Ukuran : 15 x 23 cm
Tebal : 158 Halaman
Penerbit: Galang Press

Hampir semua pekerjaan dewasa ini digarap dengan komputer: lebih cepat, mudah pula. Belum mampu beli komputer branded? Eits, jangan khawatir. Rakit sendiri saja. Gampang kok. Cepat, murah pula. Tidak kalah dengan komputer-komputer bermerek yang sudah kita kenal seperti Lenovo, HP, dan Acer. Buku ini memandu Anda untuk merakit komputer secara murah, mudah, dan cepat. Mulai dari memilih hardware, menyiapkan alat, hingga merakit sampai komplet. Dengan bahasa yang lugas dan ringkas, buku ini akan menjadikan Anda teknisi komputer yang piawai. Gambar dan foto yang jelas dan runtut juga akan semakin memudahkan Anda mewujudkan komputer canggih yang Anda impikan.

http://serbabuku.com/component/page,shop.product_details/flypage,shop.flypage/product_id,84/category_id,6/manufacturer_id,0/option,com_virtuemart/Itemid,26/

40 Bisnis dan Investasi yang Menggiurkan


Judul: 40 Bisnis dan Investasi yang Menggiurkan
Penulis: Agung Budi Santoso
Penerbit: Panta Rei
Tebal: 253 Halaman
Terbit: November 2007


Kini semakin banyak orang yang berminat untuk memiliki usaha sendiri. Bahkan orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap pun selalu mencari peluang untuk menambah pendapatan dengan cara ini. Bisnis yang dilakukan tidak perlu terlalu besar, tetapi yang penting dapat memberikan income tambahan yang memuaskan setiap bulannya.

Namun orang acap kali harus memutar otak untuk menentukan jenis usaha yang akan digelutinya. Mereka tidak mengetahui jenis usaha seperti apa yang cocok dilakukan, baik dari segi modal maupun keuntungan yang akan diraih. Akhirnya mereka menemukan jalan buntu.
Sebetulnya banyak sekali peluang bisnis yang dapat dilakukan. Bahkan mungkin peluang itu ada di sekitar lingkungan sendiri, baik lingkungan rumah atau kantor. Namun ironisnya peluang itu sering luput dari tangkapan ”indera ke enam” bisnis seseorang. Akibatnya, jutaan rupiah yang sebenarnya dapat mengalir ke dalam kantong malah hilang begitu saja. Hal yang menyedihkan, peluang yang ada di depan mata justru disambar oleh orang lain.

Hal itulah yang sebetulnya ingin disampaikan dalam buku 40 Bisnis dan Investasi Menggiurkan ini. Buku ini seperti ingin menunjukkan bahwa peluang berbisinis dan berinvestasi sesungguhnya masih sangat terbuka terbuka lebar, mulai dari bisnis berisiko rendah, hingga bisnis dengan risiko lebih tinggi.

Tidak hanya itu, penulis menyampaikan bahwa dari hal yang terkesan sepele, ternyata dapat dimulai sebuah bisnis yang hasilnya tidak dapat dikatakan kecil. Salah satu contoh bisnis yang ditawarkan penulis adalah bisnis kliping. Siapa pernah menduga bahwa bisnis ini ternyata cukup menjanjikan. Hanya dengan bermodal berlangganan koran, majalah dan tabloid, atau bahkan membeli bekas secara kiloan, seseorang dapat menghasilkan jutaan rupiah dari kliping yang dikumpulkannya.

Bisnis lain yang juga tidak bermodal banyak namun bisa menjadi andalan dalam mencari pendapatan tambahan adalah lahan parkir. Dengan modal utama lahan kosong saja, seseorang dapat memulai usaha lahan parkir. Apalagi lokasi lahan kosong yang dimiliki sangat dekat dengan kantor, pertokoan, atau sekolah yang tidak memiliki lahan parkir yang memadai.
Masih banyak lagi bisnis maupun investasi yang disampaikan dalam buku ini, mulai dari berjualan bubur ayam, es campur, waralaba, invetasi emas, hingga bermain saham. Namun secara garis besar buku ini membagi bisnis dan investasi menjadi empat bagian.

Bagian pertama mengupas bisnis dan investasi yang berkaitan dengan jasa. Bisnis yang berkaitan dengan bidang ini diantaranya adalah sebagai penulis artikel, penulis buku, penerjemah, penulis skenario, waralaba laundry hingga penyewaan alat pesta.

Bagian ke dua membahas bisnis yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Di dalamnya dikupas bisnis katering, jus, toko oleh-oleh, hingga warung STMJ. Pada bagian ke tiga diuraikan berbagai investasi untuk melipatgandakan uang, mulai dari mini market, reksadana, bermain saham, sampai investasi dalam bentuk emas. Sedangkan pada bagian ke empat dipaparkan bagaimana membuka keran uang dengan bisnis budidaya dan kerajinan. Di sini dibahas bisnis-bisnis seperti beternak ikan cupang, kolam pemancingan ikan, beternak lele, tanaman hias hingga usaha florist.

Menariknya, setiap bisnis yang dibahas dalam buku ini disertai ilustrasi biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan didapat. Dengan demikian pembaca akan lebih mudah mengukur dan mendapatkan gambaran dari bisnis yang akan dijalankan.

Berbagai jenis bisnis maupun investasi yang disampaikan dalam buku ini memberikan inspirasi pada pembacanya bahwa peluang bisnis masih terbuka lebar. Siapa pun dapat melakukannya, tergantung isi kocek tentunya. Namun, yang paling penting adalah, buku ini mengajarkan bahwa kejelian melihat peluang merupakan kunci sukses setiap bisnis maupun investasi yang dilakukan.

http://ulas-buku.blogspot.com/

Presiden Guyonan


Judul: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Tebal: xxiv + 285 halaman
Penerbit: Kitab Sarimin, Yogyakarta,
Terbit: November 2008
Sebuah surat kabar memuat ratusan berita setiap harinya. Berbagai peristiwa dihadirkan ke hadapan pembaca.secara bertubui-tubi. Isu demi isu terus berganti setiap minggunya. Nyaris tidak ada isu yang dapat bertahan lama. Pembaca pun seperti mengalami amnesia isu.
Ini adalah konsekuensi dari media massa yang selalu mengutamakan aktualitas. Aktualitas dan kecepatan menyiarkan sebuah berita menjadi menjadi sebuah keharusan. Padahal kedalaman sebuah berita juga diperlukan agar dimensi-dimensi dari sebuah berita dapat ditangkap oleh pembaca.
Oleh sebab itu, harus ada sebuah cara agar isu-isu yang mengemuka di media masa tidak terlindas begitu saja oleh isu-isu lain yang terus menjejali ruang pikiran pembaca. Cara ini harus dapat mengajak pembaca untuk melihat dimensi-dimensi lain dari sebuah peristiwa, merenungkan, merefleksikan, dan bahkan menginterpretasikannya
Untuk itulah sebuah kolom hadir di surat kabar. Kolom tidak hadir dengan perhitungan kecepatan dan aktualitas, meskipun persoalan yang dikemukakan dapat saja merupakan sesuatu yang aktual, tetapi selalu mengajak pembaca untuk sejenak melongok peristiwa tersebut dan memberikan diri untuk merenungkannya.
Tentu saja, untuk mencapai hal ini kolom harus hadir dengan format dan caranya yang berbeda dan khas. Di sinilah kepiawaian seorang penulis kolom dibutuhkan, dan Butet Kartaredjasa telah memilih caranya sendiri untuk mengajak pembaca melihat secara reflektif realitas yang ada di sekitarnya.
Untuk mengajak pembaca merenungkan persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat, Butet menghadirkan tulisan-tulisan yang dapat mengundang pembaca tersenyum atau bahkan tertawa. Kolom-kolomnya tidak hadir dengan cara yang memberat karena ia tahu, apabila persoalan yang disampaikannya saja sudah berat, maka tidak perlu lagi memberikan beban kepada pembaca dengan menghadirkan tulisan-tulisan yang sulit diicerna. Di sinilah letak salah satu kekuatan kolom-kolom ini.
Kelebihan lain kolom-kolom Butet yang pernah dimuat di harian Suara Merdeka di Semarang ini adalah hadirnya tokoh Mas Celathu bersama anggota keluarganya, yakni Mbakyu Celathu, istrinya, serta anak-anaknya. Lewat tokoh-tokoh inilah Butet menyajikan isu-isu penting yang mungkin terlupakan dalam dinamika kerja sebuah media.
Namun tokoh sentral Mas Celathu memang sangat dominan dalam kolom-kolom Butet ini. Lewat sosok inilah Butet menyampaikan buah pikirannya. Tokoh ini digambarkannya sering muncul dengan kegelisahan-kegelisahan, kegeraman-kegeraman, dan bahkan dengan kebingungan-kebingungannya sendiri, yang merupakan respon dari apa yang dilihat dan dicermati dari lingkungannya.
Mas Celtahu juga bukan hanya sosok sederhana yang terkadang terkesan selalu bebas berbicara, tukang njeplak, dan tajam dalam mengritik, tapi juga sering muncul dengan gagasan yang melawan mainstream. Sebut saja ketika ia bicara soal gay dan lesbian dalam kolomnya yang berjudul Psikopat Anyar. Dalam tulisan ini dikisahkan bagaimana Mas Celathu mencoba meluruskan anggapan umum masyarakat mengenai para gay dan lesbian yang terlanjur diberi cap negatif. Mas Celathu digambarkan mengajak masyarakat untuk menghargai keberadaan kelompok ini. Gay dan lesbian tidak selalu identik dengan pembunuhan kejam, mutilasi atau berbagai kejahatan lain. Justru mereka yang berprofesi mulia, dijangkiti sindrom psikopat.
Tidak hanya itu, Mas Celathu pun acap kali tergoda dan ”gatal” untuk memberikan komentar, tanggapan, pujian ataupun ejekan dari apa yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini sesuai dengan istilah celathu, yang dalam bahasa Jawa dapat berarti nyeletuk, menyahut, atau "menyambar" omongan orang lain. Alhasil, dengan cara yang jenaka, pentolan teater Gandrik ini, mengritik dan mengolok-olok berbagai kejadian atau keadaan yang menurutnya tidak tepat, melanggar aturan, ataupun keliru sama sekali.
Tetapi Butet tidak selalu memoisisikan Mas Celathu sebagai pengritik yang selalu bersih sehingga seakan-akan punya otoritas menunjuk kesalahan orang lain alias menghakimi. Di sisi lain justru ia menghadirkan Mas Celathu sebagai sosok yang manusiawi, yang sering khilaf, berbuat kekliruan, yang terkadang justru terjebak dalam kondisi atau persoalan yang sebelumnya sering ia kritik.
Simak saja di kolom berjudul Isteri Bernyali. Dalam kolom ini dikisahkan Mas Celathu tergoda untuk "berbisnis" di lokasi yang tertimpa bencana alam. Ia melihat di lokasi bencana alam inilah ia bisa meraup keuntungan dengan berdagang berbagai benda yang dibutuhkan oleh mereka yang tertimpa bencana alam. Namun ide tersebut dimentahkan begitu saja oleh sang istri. Sang istri menilai gagasan tersebut tidak etis karena mencari keuntungan di atas kesusahan orang lain. Diserang seperti itu, Mas Celathu pun mengkeret tak berkutik. Rupanya Mas Celathu yang doyan memarahi penguasa pun bisa tunduk terhadap istrinya.
Salah satu kelebihan kolom-kolom dalam Presiden Guyonan ini adalah bagaimana Butet memakai istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Ini wajar saja, sebab kolom ini memang hadir di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa. Tetapi toh persoalan yang disampaikan bukan persoalan primordial, tetapi persoalan yang lebih luas lagi spekttrumnya, persoalan. Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa justru membuat kolom ini lebih hidup, lebih "berbumbu" sehingga unsur humor yang dibangun di dalamnya lebih kental. Mereka yang tidak terlalu paham bahasa Jawa dapat melihat arti atau makna dari istilah-istilah tersebut di bagian akhir buku ini.
Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh Butet tersebut, mengingatkan kita kepada kolom-kolom almarhum Umar Kayam yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Dalam kolom-kolom tersebut Umar Kayam juga menggunakan istilah-istilah Jawa yang begitu mengena. Dengan istilah-istilah itu justru sendirian, ejekan, ataupun kritik yang dilontarkan menjadi lebih "ciamik" untuk dinikmati.
Catatan lain dari kolom-kolom Butet ini adalah, ia menggunakan "logika terbalik" untuk memaknai masalah-masalah yang ditulis. Hal yang dimaksudkan di sini adalah, apabila sebuah persoalan dipandang serius, seseorang cenderung merseponnya dengan serius pula. Bahkan, sejumlah teori Barat--baik teori politik, ekonomi atau sosial--digunakan untuk memaknai dan mencarikan jalan keluar dari persoalan yang ada.
Namun tidak demikian dengan Butet. Dalam kolom-kolomnya ini, ia justru merseponnya dengan cara yang ringan, sederhana, bahkan cenderung melucu. Persoalan-persoalan yang ada selalu dihampirinya dengan cara yang membuat orang tergelitik. Inilah yang dimaksudkan "logika terbalik". Sesuatu yang tampak serius, ”angker” atau bahkan elit, di kolom-kolom justru diresponnya hanya dengan tertawa. Di sini Butet seperti ingin mengajak pembaca menghampiri setiap masalah dengan cara yang terbalik. Ia seperti ingin berkata, buat apa susah-susah merunyamkan pikiran hanya karena memikirkan persoalan yang sudah terlalu ruwet. Lebih baik hadapi saja dengan senyum. Buat apa mengerutkan dahi karena melihat kesedihan yang terlampau menyedihkan, lebih baik tertawa saja agar kesedihan itu lebih dapat dapat terobati.

http://ulas-buku.blogspot.com/

Kisah Sukses Google

Judul: Kisah Sukses Google
Penulis: David A. Vise
Harga : Rp 75.000,-
Ukuran : 15 x 23 cm
Tebal : 370 halaman
Terbit : Agustus 2006

Kisah Sukses Google

Menyajikan secara komprehensif kisah sukses bisnis Google yang tak lain adalah mesin pencari paling populer di Internet. Mulai dari ditemukannya rumus pencarian berdasarkan peringkat oleh Sergey Brin dan Larry Page - dua mahasiswa tingkat doktor di Stanford University - hingga kisah bagaimana perusahaan mereka menjadi dominan di Internet, serta memiliki kekayaan 100 miliar dolar dari nilai saham dan dana tunai sebesar 8 juta dolar dalam waktu 8 tahun. Google kini menjadi momok bagi Microsoft, dan sepak terjangnya menjadi santapan pers.

Buku ini juga menceritakan tentang budaya yang hidup di kompleks Google, tentang visi masa depan, serta bagaimana cara para pendirinya berhasil mempertahankan karyawannya dalam persaingan memperebutkan orang - orang pintar yang terjadi di antara perusahaan - perusahaan teknologi tinggi, termasuk Microsoft. Di Googleplex, karyawan mendapat makan siang gratis, boleh menggunakan kolam renang kapan saja, dan diundang ke pesta-pesta akhir pekan yang diadakan perusahaan.

Selain itu, dalam buku ini kita akan menjumpai bagaimana bisnis Google yang sungguh luar biasa - dengan segala efek samping negatifnya - akhirnya memunculkan istilah Ekonomi Google, yang menjadi lambang keperkasaan Google dalam dunia Internet.


http://bukuresensi.wordpress.com/2006/12/29/kisah-sukses-google/

Sabtu, Februari 14, 2009

esensi Novel Harry Potter dan Kamar Rahasia

kata : 600
oleh : agustnasihin
Pengarang : J.K. Rowling,Alih Bahasa Listiana Srisanti
Diterbitkan di: April 05, 2008
Judul Buku :Harry Potter dan Kamar Rahasia

Penulis: J.K. Rowling Alih bahasa: Listiana Srisanti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit ceakan ke-19 : 2007
ISBN : 978-979-655-852-0
Dimensi: 16x20 cm
Diskripsi:
Tentunya Anda tidak lupa dengan penulis terkaya di dunia J.K. Rowling kan? Bagi Anda yang menyukai Novel Harry Poter tidak akan asing lagi dan mungkin sudah hafal dengan serial Kamar Rahasianya,Namun bagi Anda yag sibuk dan tidak sempat meluangkan waktu untuk menonton filmnya atau bagi Anak-anak Anda yang ingin menggali lebih dalam dalam menulis cerpen dan kemudian Novel, akan menjadi contoh cara penyampaian sebuah novel yang bagus jalan ceritanya dan gaya ceritanya.
Novel Harry Potter dan Kamar Rahasia ini secara ringkas bisa disebutkan antaralain: Baha Harry potter sedang liburan musim panas bersama keluarga Dursley yang menyebalkan karena perlakuan kasar yang diterima Harry. Dia ingi sekali kembali segera ke Sekolah Sihir Hogwarts. Tetapi tiba-tiba muncul makhlik aneh bernama Dobby,yang melarangnya kembali kesana.Malapetaka akan terjadi bila Harry kembali kesana. Setelah dengan susah payah Harry potter dijemput temanya dengan mobil terbang dan sesampainya di Sekolah Hogwarts betul-betul terjadi malapetaka. Karena pada tahun keduanya di Hogwarts muncul siksaan dan penderitaan baru,dalam wujud guru baru sok bernama Gilderoy Lockhart,hantu bernama Myrtle Merana yang menghantui toilet anak perempuan dan perhatian tak diinginkan dari adik Ron Weasly,Ginny.
Tetapi semua itu Cuma gangguan kecil dibandingkan dengan bencana besar yang kemudian melanda sekolah. Ada yang mengubah murid-murid Hogwarts menjadi batu. Mungkinkah pelakunya Draco malfoy yang jahat sama Harry,yang riwayat masa lalunya akhinya terbongkar?Atau, mungkinkah pelakunya anak paling dicurigai semua orang di Hogwarts…Yakni Harry Potter sendiri???? Nah untuk lebih jelasnya Anda baca bukunya sampai tuntas tentunya akan menjadi lengkap koleksi buku novel Anda bila ada serial ini, atau nonton filmnya langsung…
*Agust Nasihin,Penulis aktif di blog dan,Me resensi buku gratis dan pemasangan review produk atau iklan di blog,bersama artikel-artikel lainya, Anda bisa bergabung di http://id.shvoong.com/aff-5398E/ & http://www.sitesell.com/netsell13.html atau berkunjung di http://id.shvoong.com/tags/agust-nasihin/ & http://goeswriting.wordpress.com

Resensi Buku : Patch Adams | Menemukan Arti Sebenarnya dari Praktek Kedokteran Resensi Buku

Saat ini, tidak sedikit dokter yang sangat tergantung dengan alat-alat kedokteran yang canggih untuk menjalani prakteknya. Ketika alat-alat itu tidak ada, maka otomatis mereka tidak bisa melakukan praktek kedokterannya dengan baik. Sungguh ironis memang melihat hal ini sudah semakin menggejala di kalangan praktisi kesehatan.

Seakan-akan, dunia kedokteran adalah dunia yang dipenuhi oleh alat-alat canggih yang dibeli dari milyaran rupiah uang rakyat. Dan lebih ironis lagi, tidak semua rakyat –yang turut membayar lewat pajak- bisa menikmatinya.

Banyak cerita dokter-dokter baru yang ditempatkan di daerah terpencil sangat kesulitan mengembangkan kemampuannya dibandingkan ketika dia kuliah dulu di kota. Hal ini tak lain karena ketergantungan alat-alat kedokteran. Sehingga kemampuan asli dari si dokter ini tidak keluar.

Nah, buku ini mencoba memberikan pemahaman mengenai hal tersebut kepada praktisi kesehatan dan pasien mengenai pentingnya memurnikan kembali ajaran kedokteran ini.
Siapa Patch Adams ?

Gaya ala Badutnya Selalu Mengundang Tawa

Dokter, aktivis sosial, badut profesional, diplomat rakyatm penulis, dan pendiri Gesundheit! Institute.

Hunter Campbell “Patch” Adams, atau biasa dipanggil Patch Adams saja, merupakan seorang dokter lulusan dari Medical College of Virginia, Health Science Divisions of Virginia Commonwealth University. Bisa dibilang sebagai dokter yang sangat eksentrik dengan ciri khasnya berupa hidung merah besar ala badut yang sering dikenakannya.

Sejak kuliah kedokterannya, ia termasuk orang yang anti kedokteran modern. Dimana pasien dilakukan bagai robot, dan meminta bayaran yang tinggi pula. Hal ini yang mengusik nurani Patch untuk mengubah itu semua. Mengembalikan seni ilmu kedokteran ke asalnya dimana rasa kasih sayang dan penuh perhatian diberikan kepada pasien.
Perwujudan Mimpi seorang Patch Adams

Patch bersama rekannya telah membangun Gesundheit! Institute. Fasilitas kesehatan yang memiliki luas 147 hektar ini berada di Pocahontas County, West Virginia, Amerika Serikat.

Siapapun boleh datang kesini –anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang kaya (yang kekurangan rasa cinta di rumah sakit lainnya), para korban perang yang diabaikan oleh negara- dan kabar baiknya tidak dipungut bayaran alias gratis.

Gratis ? Ya, gratis. Patch ingin menunjukkan bahwa dengan tidak memungut bayaran, ia bisa memberikan cinta dan kasih sayang kepada para pasiennya. Memang sudah sepantasnya rumah sakit dan dokter tidak melibatkan bisnis dalam praktek kedokteran. Patch melihat hal itu sebagai hal yang salah.

Di Gesundheit, Patch tak hanya menyediakan fasilitas kesehatan, ia juga menyediakan sebuah lahan yang penuh dengan tanaman. Siapa saja boleh menanam dan memakannya. Para pasien boleh tinggal disitu dan bercocok tanam. Yang hasilnya bisa dimakan bersama-sama dengan pasien lainnya.

Tak ayal lagi, hal ini lah yang membuat banyak pasien sembuh. Rasa cinta dan penuh perhatian yang diberikan oleh seluruh praktisi kesehatan di Gesundheit membuat tubuh pasien menghasilkan kesembuhan yang alami.

Bagaimana seorang Patch Adams bisa mengumpulkan duit untuk menjalankan biaya operasionalnya ? Baca aja deh selengkapnya di buku. Pokoknya, sebuah cara yang sangat luhur. Wajib dituru oleh siapapun yang ingin membantu sesama.
Cara Praktek yang Unik

Patch juga menyajikan sebuah praktik kedokteran yang berbeda. Ia mendatangi pasien-pasiennya dengan menggunakan sepeda beroda satu. Dengan pakaian badut dan hidung besar merahnya, membuat siapa saja pasti tertawa dan mampu melupakan sedikit rasa sakit yang dialaminya.

Patch juga sering melakukan kunjungan ke rumah pasiennya. Ia beranggapan kalau untuk menganalisa (anamnesis) penyakit seorang pasien tidak hanya bisa melalui wawancara dan pemeriksaan di ruang praktek saja.

Melalui kunjungan ke rumah, Patch bisa melihat dengan jelas gaya hidup seseorang, kebersihan lingkungannya, pola makan dan berbagai hal lainnya yang dapat menunjukkan sebab suatu penyakit timbul. Sehingga ia bisa memberikan masukan untuk mengobati penyakit dari sumbernya langsung.
Sebuah Buku Wajib bagi Siapa Saja
Walaupun sebagaian besar buku ini sangat bermanfaat untuk praktisi kesehatan (dokter, perawat, bidan, ahli kesehatan masyarakat), tetapi saya merekomendasikan buku ini untuk siapa saja.

Di bagian terakhir dari buku ini ada beberapa tips yang diberikan untuk seorang dokter, tenaga profesional di bidang perawatan kesehatan, mahasiswa kedokteran, bahkan hingga orang-orang diluar praktik kedokteran. Semua orang bisa melakukan perubahan untuk mewujudkan praktik kesehatan yang sebenarnya.

Jadi, segeralah pergi ke toko buku manapun dan temukan buku setebal 228 halaman ini. Dan saya yakin, anda akan berempati dengan apa yang dilakukan oleh seorang dokter eksentrik, Patch Adams, M.D.

http://www.wilihandarwo.com/2008/07/01/resensi-buku-patch-adams-menemukan-arti-sebenarnya-dari-praktek-kedokteran/

THE STORY OF CRASS

"Punk became a fashion just like hippy used to be and it ain't got a thing to do with you or me." Ada pemandangan aneh ketika saya mengunjungi Kinokuniya Grand Indonesia beberapa waktu lalu. Di bagian musik, di antara buku-buku soal musisi mainstream, terselip sebuah buku dengan logo yang lumayan familiar dengan saya ; The Story of Crass. Oke, Crass memang bukan musisi yang populer di Indonesia, terus kenapa mereka punya buku ini dalam katalognya ya?! Jarang-jarang ada naskah mengenai sejarah punk Inggris tanpa menyertakan kontribusi Sex Pistols seperti dalam buku ini. Ketika Johnny Rotten meneriakan slogan "Anarchy!" hanya demi sensasi subversif dalam musiknya sekaligus marketing gimmick bagi sex shop milik pasangan Malcolm McLaren dan Viviene Westwood, Crass sudah terlebih dulu membawa realisasi kata itu ke tingkat lebih lanjut. Cikal bakal Crass diawali dengan sebuah komune anarkis bernama Dial House yang terdiri atas sekelompok mahasiswa seni, musisi, sastrawan dan aktivis perdamaian yang menyabot sebuah lahan tidur di wilayah Essex, Inggris, sebagai basis gerakan di tahun 1960-an. Mereka sudah terlebih dulu mempraktekkan prinsip esensial dalam teori anarkisme, seperti membangun pertanian mandiri untuk memperkuat basis ekonomi di tingkatan akar rumput. Seperti layaknya tren gerakan sosial paska era Baader-Meinhoff, mereka juga mengadopsi prinsip-prinsip anti-kekerasan dalam ruang geraknya. Para aktivis Dial House ini kemudian menemukan bentuk ekspresi artistiknya ketika punk gelombang pertama mulai menunjukkan embrionya. Musik-musik eksperimental avant garde yang selama ini mereka geluti dirasakan tidak bisa menyuarakan ide-ide revolusioner sudah mereka jalani. Jadilah Penny Rimbaud, Steve Ignorant, dan kawan-kawannya membentuk Crass, dengan dibantu seniman muda Gee Vaucher untuk divisi artistiknya. Yang membedakannya dengan band punk lain pada masa itu adalah mereka kerap menyertakan aksi panggungnya dengan orasi budaya, pembacaan puisi, dan diskusi. Ketika tren punk membuat banyak anak muda Inggris berkeliaran dengan kostum yang aneh dan berantakan, Crass malah tampil rapi dengan gabungan pakaian kasual dan seragam militer yang serba hitam. Tak berapa lama, Sex Pistols merilis singel Anarchy in the UK dan mengangkat punk menjadi fenomena nasional. Dalam waktu singkat punk menjadi perhatian media massa, meme pemberontakan yang menyebar membuatnya jadi fenomena kultural, tak terkecuali beberapa pihak yang mencoba bermain mata dengan industri. Pada saat itulah Crass menyatakan kematian punk, sama seperti ketika Nietzsche membunuh Tuhan. Crass memanifestasikan pernyataan mematikan tersebut dalam lagunya, Punk is Dead. Tentu saja hal ini membuat Crass jadi band yang dibenci. Berbagai pihak menyatakan Crass adalah kaum hippy, bukan punk. Bahkan Sex Pistols sendiri membuat slogan "Never Trust A Hippy!" dalam lagu Who Killed Bambi? yang secara implisit ditujukan kepada Crass. Wattie Buchan dan The Exploited mencoba menegasikannya dengan lagunya Punk Not Dead, si mulut besar Jello Biafra dan Dead Kennedys mengeluarkan kritik dalam lagu Anarchy For Sale. Tapi semua itu tidak menghentikan langkah Crass. Mereka malah semakin kritis dalam perjuangannya. Tidak hanya bersuara keras untuk masalah internal punk saja, mereka juga kerap bikin gerah pemerintah Inggris. Crass pernah menggelar aksi massa dan pemutaran film untuk menentang invasi tentara Inggris ke pulau Falklands. Di tingkatan ideologi, anarkisme bukan satu-satunya keyakinan mereka. Masalah feminisme, hak azasi binatang, perang, globalisasi, dan lingkungan hidup juga tidak luput dari perhatian mereka. Crass adalah salah satu band yang juga mempraktekan direct action dalam sepak terjangnya, tidak hanya sekedar bersuara melalui lagu. Selain dibenci, Crass juga dihormati. Kehadirannya yang inspirasional juga turut mendorong kelahiran band-band lain yang kemudian masuk dalam kategori anarko-punk dan genre-genre lainnya, seperti Conflict, Subhumans, Flux of Pink Indians, Poison Girls, MDC, Rudimentary Peni, Zounds, Resist to Exist, Aus Rotten, Disrupt, Chumbawamba, Atari Teenage Riot, Amebix, bahkan Anthrax pada awal kehadirannya. "Preaching revolution, anarchy and change as he sucked from the system that had given him his name."

http://www.apokalip.com/webzine/eksplorasitiadahenti/resensi/resensibuku

Land, Water and Development: Sustainable Management of Riverbasin Systems

Oleh Irvinia Budining Arumsari
Rabu, 17 November 2004
Penulis : Malcom Newson
Hardcover: 423 halaman
Penerbit: Routledge; 2nd edition (September 1, 1997)
ISBN: 0415155061
Ukuran: 1.0 x 6.5 x 9.5 inci

Buku ini membahas tentang sungai, bagian dari lingkungan yang paling cepat mengalami perubahan jika terdapat aktifitas manusia disekitarnya. Pembahasan mengenai sungai meliputi masalah-masalah yang terjadi dan cara-cara pemecahan masalah-masalah tersebut. Pemecahan masalah yang dimaksud adalah pengelolaan sungai baik dari segi Fisik (morfologi, hidrologi, pola aliran sungai); Biologi (polusi, ekosistem, vegetasi); maupun Sosial (masyarakat dan aktifitasnya).

Irigasi merupakan manajemen air tertua, yang mulai dilakukan sejak 600 tahun SM oleh bangsa Mesopotamia dan Mesir. Selain irigasi, manajemen air yang terkenal lainnya adalah pembuatan saluran air untuk keperluan militer seperti yang dibuat oleh bangsa Assyrian ketika menghancurkan Babylonia pada tahun 689 SM. Sennacherib dari bangsa Assyrian membendung sungai Euphrates dan kemudian menghancurkan dam/bendungan tersebut.

Dalam mempelajari ekosistem sungai, sistem transfer baik sedimen atau air merupakan hal terpenting. Variabel utama dalam sistem transfer adalah iklim yang merupakan sumber input air. Karena sifatnya yang dinamis, ilmuan terus menerus melakukan penelitian tentang sungai untuk mendapatkan ?variabel-variabel baru? yang berpengaruh dalam sistem sungai. Selama ini penelitian yang sudah dilakukan selalu ?mengandung? komponen/variabel yang terlupakan.

Dari hasil penelitian di lapangan mengenai sistem sungai, didapat beberapa kesimpulan yang dapat menguatkan teori-teori yang sudah ada, yaitu :

1. River basin dipengaruhi oleh pembangunan artificial (hasil aktifitas manusia), contohnya undang-undang yang mengatur air dan sungai, dan urbanisasi.
2. Di daerah semi arid, tutupan vegetasi dan tanah tidak banyak mempengaruhi suplai sedimen di river basin. River basin juga merupakan daerah terjadinya perubahan antara banjir dan kekeringan secara ekstrim, bahkan dibeberapa tempat juga terjadi kebakaran.
3. River basin yang jarang mengalami banjir dikatakan menunjukkan fenomena ambang pintu (threshold phenomena). Threshold phenomena terjadi ketika fenomena-fenoma alam tidak terjadi secara semestinya/natural.
4. Eksperimen yang dilakukan dengan menggunakan model, menunjukkan output berlaku tidak stabil wapaupun kondisi input dibuat sedemikian rupa dalam kondisi stabil.

Hidrologi, yang merupakan bagian dari ilmu yang mempelajari sistem sungai, merupakan ilmu ?muda? dimana tahun-tahun belakangan, penelitian dilakukan terbatas hanya pada proses-proses yang terjadi di permukaan. Saat ini, hidrologist mulai memikirkan variabel lainnya yang ?tersembunyi? yang berpengaruh dalam runoff, yaitu tanah, batuan dan vegetasi. Selama ini hidrologist kurang mempertimbangkan pengaruh land use, manajemen tanah dan aktifitas manusia terhadap runoff dan kualitas air. Salah satu contoh pengaruh manusia dalam runoff adalah pembuatan bendungan dan saluran air melalui pipa-pipa (hal 57).

Bab 4 khusus membahas manajemen tanah dan air di berbagai negara, yaitu Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand. Sedangkan bab 5 terdapat contoh-contoh manajemen sungai di negara-negara arid dan semi arid, seperti Iran, Mesir, dan beberapa negara Afrika (Ethiopia, Kenya).

Komunitas rural (desa) di negara-negara berkembang memiliki kontribusi dan daya pengaruh kecil dalam membawa skema pengelolaan air berskala lokal ke skala yang lebih besar, pembangunan nasional yang pada akhirnya berhubungan dengan peningkatan ekonomi. Pada kenyataannya, beberapa masyarakat lokal memiliki kebijakan tersendiri dalam mengelola lingkungan sekitarnya yang secara langsung maupun tidak langsung melestarikan lingkungan. Tetapi seringkali dengan dalih ?pembangunan untuk rakyat? metode pengelolaan lingkungan khususnya air dan sungai mengadopsi metode ?luar? yang tidak cocok bahkan merusak lingkungan sekitarnya.

Mismanajemen air akan menyebabkan desertification : penyusutan atau kerusakan potensi biologi dari tanah yang dapat menjadi awal pembentukan kondisi seperti gurun/penggurunan (UNCOD, 1977). Dari definisi diatas, Thomas dan Middleton (1995) melakukan penelitian tentang desertification sebagai Myth and Claim (Mitos dan Pernyataan). Hasil yang didapat, beberapa komponen yang termasuk dalam myth adalah ukuran dan kemajuan masalah; kerentanan ekosistem dryland; efek fisik terhadap manusia dan peraturan yang dikeluarkan PBB. Pada dasarnya manusia memiliki rasa bersalah terhadap degradasi lingkungan akibat aktifitas yang mereka lakukan.

Dalam melakukan manajemen air/sungai, diperlukan keterlibatan semua pihak, baik pemerintah masyarakat maupun swasta. Inggris menerapkan kebijakan pengelolaan air yang diserahkan kepada pihak swasta. Beberapa pertimbangan yang menunjang: secara ekonomi (terbukanya lapangan pekerjaan, investasi dan kesempatan bekerjasama dengan pihak swasta lainnya); kontrol (peran pemerintah terbatas pada pengawasan dan pengaturan sehingga meminimalkan pengaruh politik); pelayanan (kualitas pelayanan yang terjaga karena adanya standar pelayanan). Manajemen air tidak akan berjalan optimal jika salah satu dari ketiga pihak diatas, baik pemerintah, masyarakat dan swasta tidak ikut ambil bagian di dalamnya.

Seperti kebanyakan buku-buku literatur Luar Negeri, data-data penunjang yang ditampilkan sangat lengkap dan akurat. Gambar yang ditampilan, baik peta, skema maupun model mempermudah pembaca untuk mengerti isi buku ini yang seluruhnya ditulis dalam bahasa Inggris.


http://www.geografiana.com/buku/buku/land-water-and-development

Geografi Kota dan Desa

Oleh Irvinia Budining Arumsari
Rabu, 24 November 2004
gambar sampulPenulis : Drs. Daldjoeni
Penerbit: Alumni
Tebal: 272 hal + xvi
ISBN: 9794140740

Buku dengan tebal isi 272 halaman dan xvi (16) halaman lampiran awal, terbagi menjadi 14 bagian (bab). Di dalam buku ini terdapat bahasan umum mengenai kota dan desa berdasarkan perspektif sejarah, struktur, dan pertumbuhannya berserta contoh-contoh kasus yang terdapat di Indonesia maupun luar negeri.

Pada hakikatnya kota dan desa saling berinteraksi satu sama lainnya. Seperti yang terdapat dalam kalimat "Kota selalu mempunyai ikatan erat dengan wilayah yang mengelilinginya" (hal 76). Pada halaman 77 disebutkan contoh-contoh interaksi dan ikatan antara kota dan desa.

Implikasi dari interaksi dan ikatan tersebut ada yang bersifat negatif maupun positif. Salah satu implikasi negatif adalah urbanisasi. Urbanisasi sebenarnya menyangkut proses menjadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, perubahan jiwa dari bertani ke yang lainnya; juga menyangkut perubahan dalam pola perilaku manusia (hal 95). Urbanisasi merupakan implikasi negatif dilihat dari sudut pandang desa, dimana desa akan mengalami ‘kematian’ perlahan karena penduduknya berpindah (tempat tinggal) ke kota atau berpindah (mata pencaharian) dari bertani ke non pertanian.

Implikasi negatif dilihat dari sudut pandang kota adalah cornubation yang merupakan kota raksasa akibat pemekaran wajar dengan penduduk sebanyak 500.000 hingga 5 juta atau lebih. Hal-hal yang menyebabkan cornubation, pola dan contoh-contohnya juga dibahas dalam buku ini, khususnya bab 8.

Selain membahas masalah intern kota (dalam bab 10 dan 13), Djaldjoeni juga membahs kota dari sektor-sektor yang mempengaruhinya, seperti industri, ekonomi, dan wilayah surbubia. Wilayah surbubia (dari kata Latin suburbis; sub = bawah, urbis = kota) yang dalam bahasa Inggris disebut fringe dan dalam bahasa Indonesia disebut wilayah pinggiran merupakan wilayah pinggiran kota yang terhubung akibat pertumbuhan kota ke luar.

Dalam menjelaskan kota, Djaldjoeni melengkapinya dengan tabel, gambar dan peta sebagai data penunjang. Tidak hanya teori, tetapi penjelasannya mencakup teknis seperti rumus dan hitungan matematis, diengkapi dengan model aplikasi. Hanya kekurangan buku ini terletak pada kualitas cetakan peta dan gambar yang kurang representatif. Peta dan gambar dengan kualitas BW (black and white/ hitam putih) bisa dibuat menarik dengan menambahkan struktur artistik berupa pola dan penambahan label-label yang sesuai dengan peta dan gambar tersebut.

http://www.geografiana.com/buku/buku/geografi-kota-dan-desa

Mapping Hacks

Penulis : Schuyler Erle, Rich Gibson dan Jo Walsh
Paperback : 525 halaman
Penerbit : O'Reilly, Edisi 1, Juni 2005
Bahasa : English
ISBN : 0596007035

Sejak awal mula kreasi pembuatan peta, manusia telah mendesain peta-peta untuk mengenali ruang yang menjadi tempat tinggalnya. Mulai dari peta sketsa pensil jalur-jalur pegunungan sampai grafis dasar laut yang kompleks. Pembuatan peta dengan presisi yang tinggi secara terus menerus dikembangkan. Dan seiring dengan membludaknya komputerisasi dan perkembangan kemampuan publik dalam pemetaan, membuat peta sekarang secara luas dapat dibuat oleh pengguna komputer biasa.

Di Buku Mapping Hacks terdapat banyak kombinasi tips dan trik yang mengijinkan pengguna untuk menjadi lebih baik menggunakan tool-tool pemetaan yang ada, yang memberikan persepsi penawaran terhadap aplikasi pemetaan yang banyak tersedia. Sehingga pembaca dapat mengerti bagaimana semua itu bekerja, untuk kemudian melakukan apa yang disukainya dengan memanipulasi data Geografi yang dimiliki, dan membuatnya menjadi peta digital untuk navigasi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjunginya, untuk keperluan bisnis, hoby dan lain-lain.

Buku Mapping Hacks menunjukkan bagaimana cara berpartisipasi secara kreatif pada suatu subyek, dan secara tidak langsung mengajarkan pembaca untuk menemukan cara kreatif dan cara cepat untuk mempelajari teknologi baru.

Jangan berharap anda akan mendapatkan tutorial ESRI dan MapInfo di buku Mapping Hacks, tapi tidak usah khawatir, karena buku ini memberikan tutorial singkat yang cukup bagus dari aplikasi-aplikasi GIS open source dan freeware GIS yang dapat anda download dari berbagai sumber di internet.

Buku Mapping Hacks terdiri dari 9 Bab (100 Sub Bab). Banyak kasus yang tingkatannya tidak terlalu sulit yang mampu diselesaikan oleh pemula, dan ada juga kasus-kasus untuk programmer berpengalaman. Tapi ada juga bagian di buku ini yang benar-benar diluar ?Mapping Hacks?, yaitu bagian yang membahas bagaimana caranya memperpendek URL (halaman 170). Hal tersebut dibahas secara khusus karena banyak URL dari Web Mapping yang panjang sekali, sehingga ketika anda ingin memberitahukan URL tersebut ke teman anda melalui email, URL tersebut terkadang menjadi broken links.

Anda sering mendengar kata proyeksi? tapi anda tidak tahu apa itu proyeksi, anda bisa melihatnya di halaman 120. Ingin mengetahui assesoris GPS yang akan dibeli? Di buku ini ada panduannya (halaman 215), dan ada link ke situs yang menjelaskan bagaimana membuat kabel GPS Garmin. Bahkan dibuku ini juga terdapat bagian yang berjudul What to Do if your Government is Hoarding Geographic Data.

Penulis buku Mapping Hacks menyarankan (pada bagian Preface) pembaca untuk memilih dan membaca apa yang menarik perhatiannya, dan jangan ragu-ragu untuk langsung mempraktekkannya, sehingga pembaca tidak akan cepat merasa bosan membolak-balik buku ini.


http://www.geografiana.com/buku/buku/mapping-hacks

Belajar dari Sejarah

Tidak banyak akademisi dan pakar strategi bisnis yang menempatkan sejarah sebagai bagian paling penting dalam perkembangan bidang ini. Sebagai legitimasi akademik, pengalaman sejarah dan materi kualitatif lainnya seringkali dikalahkan oleh metode scientific seperti permodelan dan analisis statistik dengan bantuan perangkat lunak dan perangkat keras yang canggih. Hasil analisis berupa angka, data dan model kini lebih dihargai dan dianggap kredibel sebagai dasar untuk menentukan pilihan strategi bisnis, baik oleh para akademisi maupun oleh para pengambil keputuan di perusahaan.

Richard A. D’Aveni adalah satu dari sedikit pakar strategi bisnis yang mendukung perlunya keseimbangan antara art and science dalam manajemen stratejik. Lewat karyanya yang berjudul Strategic Supremacy, D’Aveni mencoba mengangkat kembali legitimasi penggunaan pendekatan yang lebih manusiawi dalam perumusan strategi. Salah satu sumber inspirasi yang sangat lengkap dan kaya menurut D’Aveni adalah sejarah manusia itu sendiri.

Pada dasarnya, strategi adalah bagian dari upaya manusia mengelola situasi chaos, suatu kondisi ketidakberaturan yang cenderung merugikan. Baik seorang panglima perang maupun CEO perusahaan multinasional, akan selalu menghadapi kondisi lapangan yang dinamis dan kadang lepas dari kendali mereka (chaos). Strategi-lah yang bisa meningkatkan kemampuan manusia mengendalikan situasi semacam ini sampai batas tertentu. Keberhasilan mengendalikan chaos dan mempengaruhi lingkungan oleh D’Aveni disebut dengan sebagai supremasi strategis (strategic supremacy).

Bisa tidaknya suatu perusahaan mencapai supremasi strategis menurut D’Aveni ditentukan oleh tiga prinsip: pertama adalah kekuatan persepsi yang dibangun; kedua adalah bagaimana memenangkan hati dan pikiran konsumen; dan ketiga adalah kekuatan menciptakan situasi yang lebih menguntungkan dengan menggunakan kombinasi dan pola persaingan—kerjasama yang ada. Ketiga prinsip tersebut apabila mampu dijalankan perusahaan, akan bisa digunakan untuk mengembangkan strategi bisnis tanpa perlu menguras uang perusahaan atau melakukan cara-cara persaingan yang tidak sehat.

Sebagai kelanjutan dari uraian tersebut, D’Aveni mengatakan bahwa sebuah perusahaan bisa memperoleh kekuatan, kekuasaan dan pengaruh yang lebih besar dari apa yang mereka miliki selama ini, jika mereka bisa mengembangkan dan menerapkan apa yang ia sebut dengan “sphere of influence”. Menurutnya, catatan sejarah politik dan perang di masa lalu menunjukkan bahwa untuk meraih supremasi, perlu lebih dari sekedar penguasaan terhadap core interests dan vital interests saja, melainkan juga terhadap buffer zones, pivotal zones dan forward positions. Lalu, apa yang dimaksud D’Aveni dengan hal-hal tersebut? Untuk lebih memahami konsep ini, D’Aveni memberikan ilustrasi konsep ini dengan menggunakan contoh apa yang dilakukan Kekaisaran Romawi di masa jayanya.

Core interests Romawi adalah Roma dan Negara-negara kota di Italia lainnya. Vital interests-nya adalah Mesir, Spanyol dan Sisilia (demi supplai makanan dan tenaga manusia). Kemudian, buffer zones-nya adalah Perancis dan Afrika Utara (pertahanan dari serangan bangsa afrika sub-sahara dan Eropa Utara). Sementara, pivotal zones mereka adalah pegunungan Alpen (kehilangan daerah ini akan menguntungkan posisi suku bangsa Jerman). Terakhir, forward positions yang mereka gunakan adalah Turki Barat dan Perancis Utara (sebagai markas untuk menyerang musuh di timur dan utara). Masing-masing bagian tersebut merupakan kombinasi strategi yang menjadikan Romawi sebagai salah satu imperium terluas dan terlama di dunia.

Memang, konsep yang ditawarkan D’Aveni ini banyak dikritik karena dianggap terlalu abstrak dan tidak aplikatif. Namun, konsep penyebaran pengaruh (spheres of influence) yang diajukan D’Aveni pada kenyataannya bisa menjadi alternatif bagi model portfolio bisnis dan teori persaingan yang selama ini berkembang. Meskipun sebagai konsep yang baru, D’Aveni kesulitan memberikan contoh perusahaan atau institusi yang telah menerapkan konsep ini (sebagian besar bab yang ada memakai Microsoft dan beberapa perusahaan raksasa lainnya sebagai contoh).

Buku ini perlu dibaca oleh para pengambil keputusan di perusahaan untuk memahami situasi serta kondisi persaingan dewasa ini. Strategic Supremacy menawarkan pendekatan yang berbeda dalam perancangan strategi perusahaan. Kekuatan D’Aveni adalah kemampuannya melihat permasalahan secara menyeluruh (big picture), sementara secara bersamaan ia bisa memberikan contoh kasus dan tren bisnis yang menjelaskan pemikirannya. Selain it, dalam buku ini ia juga memberikan panduan dalam mengembangkan strategi bisnis, strategi pemasaran, strategi merger, strategi aliansi, alokasi sumberdaya perusahaan, dan analisis strategi pesaing.

Richard A. D’aveni adalah profesor manajemen stratejik di Amos Tuck School, Dartmouth College, selain “Strategic Supremacy” beberapa karyanya yang lain adalah hypercompetition (1994) dan hypercompetitive rivalry (1999).


http://staff.blog.ui.edu/harryyadin.mahardika/archives/8