Sabtu, Februari 14, 2009

Belajar dari Sejarah

Tidak banyak akademisi dan pakar strategi bisnis yang menempatkan sejarah sebagai bagian paling penting dalam perkembangan bidang ini. Sebagai legitimasi akademik, pengalaman sejarah dan materi kualitatif lainnya seringkali dikalahkan oleh metode scientific seperti permodelan dan analisis statistik dengan bantuan perangkat lunak dan perangkat keras yang canggih. Hasil analisis berupa angka, data dan model kini lebih dihargai dan dianggap kredibel sebagai dasar untuk menentukan pilihan strategi bisnis, baik oleh para akademisi maupun oleh para pengambil keputuan di perusahaan.

Richard A. D’Aveni adalah satu dari sedikit pakar strategi bisnis yang mendukung perlunya keseimbangan antara art and science dalam manajemen stratejik. Lewat karyanya yang berjudul Strategic Supremacy, D’Aveni mencoba mengangkat kembali legitimasi penggunaan pendekatan yang lebih manusiawi dalam perumusan strategi. Salah satu sumber inspirasi yang sangat lengkap dan kaya menurut D’Aveni adalah sejarah manusia itu sendiri.

Pada dasarnya, strategi adalah bagian dari upaya manusia mengelola situasi chaos, suatu kondisi ketidakberaturan yang cenderung merugikan. Baik seorang panglima perang maupun CEO perusahaan multinasional, akan selalu menghadapi kondisi lapangan yang dinamis dan kadang lepas dari kendali mereka (chaos). Strategi-lah yang bisa meningkatkan kemampuan manusia mengendalikan situasi semacam ini sampai batas tertentu. Keberhasilan mengendalikan chaos dan mempengaruhi lingkungan oleh D’Aveni disebut dengan sebagai supremasi strategis (strategic supremacy).

Bisa tidaknya suatu perusahaan mencapai supremasi strategis menurut D’Aveni ditentukan oleh tiga prinsip: pertama adalah kekuatan persepsi yang dibangun; kedua adalah bagaimana memenangkan hati dan pikiran konsumen; dan ketiga adalah kekuatan menciptakan situasi yang lebih menguntungkan dengan menggunakan kombinasi dan pola persaingan—kerjasama yang ada. Ketiga prinsip tersebut apabila mampu dijalankan perusahaan, akan bisa digunakan untuk mengembangkan strategi bisnis tanpa perlu menguras uang perusahaan atau melakukan cara-cara persaingan yang tidak sehat.

Sebagai kelanjutan dari uraian tersebut, D’Aveni mengatakan bahwa sebuah perusahaan bisa memperoleh kekuatan, kekuasaan dan pengaruh yang lebih besar dari apa yang mereka miliki selama ini, jika mereka bisa mengembangkan dan menerapkan apa yang ia sebut dengan “sphere of influence”. Menurutnya, catatan sejarah politik dan perang di masa lalu menunjukkan bahwa untuk meraih supremasi, perlu lebih dari sekedar penguasaan terhadap core interests dan vital interests saja, melainkan juga terhadap buffer zones, pivotal zones dan forward positions. Lalu, apa yang dimaksud D’Aveni dengan hal-hal tersebut? Untuk lebih memahami konsep ini, D’Aveni memberikan ilustrasi konsep ini dengan menggunakan contoh apa yang dilakukan Kekaisaran Romawi di masa jayanya.

Core interests Romawi adalah Roma dan Negara-negara kota di Italia lainnya. Vital interests-nya adalah Mesir, Spanyol dan Sisilia (demi supplai makanan dan tenaga manusia). Kemudian, buffer zones-nya adalah Perancis dan Afrika Utara (pertahanan dari serangan bangsa afrika sub-sahara dan Eropa Utara). Sementara, pivotal zones mereka adalah pegunungan Alpen (kehilangan daerah ini akan menguntungkan posisi suku bangsa Jerman). Terakhir, forward positions yang mereka gunakan adalah Turki Barat dan Perancis Utara (sebagai markas untuk menyerang musuh di timur dan utara). Masing-masing bagian tersebut merupakan kombinasi strategi yang menjadikan Romawi sebagai salah satu imperium terluas dan terlama di dunia.

Memang, konsep yang ditawarkan D’Aveni ini banyak dikritik karena dianggap terlalu abstrak dan tidak aplikatif. Namun, konsep penyebaran pengaruh (spheres of influence) yang diajukan D’Aveni pada kenyataannya bisa menjadi alternatif bagi model portfolio bisnis dan teori persaingan yang selama ini berkembang. Meskipun sebagai konsep yang baru, D’Aveni kesulitan memberikan contoh perusahaan atau institusi yang telah menerapkan konsep ini (sebagian besar bab yang ada memakai Microsoft dan beberapa perusahaan raksasa lainnya sebagai contoh).

Buku ini perlu dibaca oleh para pengambil keputusan di perusahaan untuk memahami situasi serta kondisi persaingan dewasa ini. Strategic Supremacy menawarkan pendekatan yang berbeda dalam perancangan strategi perusahaan. Kekuatan D’Aveni adalah kemampuannya melihat permasalahan secara menyeluruh (big picture), sementara secara bersamaan ia bisa memberikan contoh kasus dan tren bisnis yang menjelaskan pemikirannya. Selain it, dalam buku ini ia juga memberikan panduan dalam mengembangkan strategi bisnis, strategi pemasaran, strategi merger, strategi aliansi, alokasi sumberdaya perusahaan, dan analisis strategi pesaing.

Richard A. D’aveni adalah profesor manajemen stratejik di Amos Tuck School, Dartmouth College, selain “Strategic Supremacy” beberapa karyanya yang lain adalah hypercompetition (1994) dan hypercompetitive rivalry (1999).


http://staff.blog.ui.edu/harryyadin.mahardika/archives/8

1 komentar: